31 Juli 2007

Lampu Merah: STOP!!!

Kemarin malam, saya dan si merah―motor kesayangan saya―tabrakan dengan motor yang dikendarai seorang ibu di perempatan Hotel Melia. Tepatnya sih saya yang menabrak ibu itu. Soalnya, saat traffic light di posisi saya sudah hijau, ada seorang ibu di posisi yang berseberangan dengan saya nekat menerobos lampu merah. Padahal, posisi saya dan motor saya berada di belakang sebuah mobil sedan, kok ya bisa si ibu itu nekat gitu, kok ya bisanya lagi kenapa juga si ibu tidak menabrak mobil sedan itu saja, tapi malahan justru saya yang dapat giliran menabrak dia. Saat ibu itu melintas dengan kecepatan cukup tinggi, saya juga tengah menaikkan gas motor saya dan saya tidak sempat lagi mengerem, alhasil, terjadilah tabrakan itu. Apes banget deh saya malam itu, gara-gara keteledoran orang lain, saya yang harus kena musibah.

Kerusakan motor saya akibat tabrakan itu sih tidak seberapa parah, tapi badan saya sempat memar-memar biru. Apalagi jari kelingking kiri saya sempat keseleo, sekarang jadi bengkak dan memar keunguan. Sebenarnya, saya agak kasihan juga dengan ibu itu. Pasalnya, di jok belakang motor ibu itu ada beberapa tumpuk keranjang makanan ringan. Nah, lebih tepatnya saya tidak menabrak motor ibu itu secara langsung melainkan keranjang makanan itu yang saya tabrak, dan sepertinya rusak parah.

Sebenarnya, saya berniat menyelesaikan secara baik-baik dengan ibu itu, kalaupun ibu itu meminta ganti rugi akibat kerusakan yang saya timbulkan―karena keteledoran dia―saya akan bersedia menggantinya. Namun sayangnya, si ibu itu keburu ngacir setelah sempat berteriak meminta maaf ke saya, mungkin dia merasa bersalah karena telah menyerobot lampu merah.

Di perempatan Melia, saya sering melihat orang dengan seenaknya menerobos lampu merah. Apalagi, di perempatan yang cukup crowded itu tidak pernah ada satu pun polisi yang bersiaga di sana. Jadi, sebenarnya, kejadian si ibu yang nekat itu bukanlah orang pertama yang saya temui―yang lantas menimpakan kesialan di pihak saya juga. Bagi saya pribadi, kejadian itu memberi pelajaran cukup berharga. Jangan sekali-kali menerobos lampu merah, bahwa lampu merah berarti stop alias berhenti! Sebab, selain itu membahayakan keselamatan diri sendiri juga akan mengancam nyawa orang lain, betul?!

Lokasi lain yang sering saya jumpai terjadi pelanggaran rambu-rambu lalu lintas adalah di seputar Alun-alun Selatan―yang kebetulan berdekatan dengan letak kantor dan kos saya. Di sana, telah dipasang rambu dilarang belok kanan, tidak cuma satu, melainkan seputar area alun-alun rambu larangan itu ditebar. Namun dasar orang itu tidak pernah mau bersusah-payah―jika hendak menuju sisi lain dari alun-alun daripada harus memutar ya mendingan mengambil jalan pintas dong. Jadinya ya itu tadi, melanggar rambu dilarang belok kanan. Yang sering saya lihat melakukannya sih tukang becak dan pengendara sepeda, meski ada juga beberapa pengendara motor yang nekat melakukannya. Lah, apa mereka itu tidak berpikir, sikap seenak perut sendiri itu akan membahayakan keselamatan orang lain? Pernah beberapa kali saya terpikir untuk memberi pelajaran kepada mereka, yakni dengan cara menabrakkan motor saya secara sengaja kepada para pelanggar rambu itu, biar mereka kapok, tapi kalau nanti motor saya yang rusak lah rugi dong saya.***

23 Juli 2007

D'Cinnamons

Dalam video klip milik kelompok musik D'Cinnamons yang bertajuk "Ku Yakin Cinta" (salah satu lagu dalam album Good Morning) memakai Ucok Baba dan kawan-kawan "kerdil"-nya sebagai bintang dalam video klip itu. Saya tidak akan mengomentari soal kualitas musik, lagu, maupun hal-hal teknis dalam video klip itu, melainkan, saya hanya akan menyampaikan rasa haru yang besar atas ide penggarapan video klip yang berani mengakomodasi kaum kerdil di layar kaca, bukan untuk "mendiskreditkan" mereka―seperti yang sering terjadi di sinetron-sinetron Indonesia yang memakai 'artis cebol' itu sekadar untuk mengolok-olok dan menjadi bahan tertawaan semata―tapi benar-benar menunjukkan keberadaan mereka di tengah kita.

Saya tidak tahu ide pembuatan video klip yang memakai para artis 'unik' itu datang dari siapa, entah dari pihak sutradara klip atau D'Cinnamons―band asal Bandung, sang pemilik lagu. Siapa pun penggagas ide cerdas―menurut saya―itu, saya benar-benar salut dan saya secara pribadi rela mengacungkan dua jempol untuknya. Sebab, realita yang sering saya saksikan di negeri ini, manusia-manusia yang 'tidak lazim' itu benar-benar tidak mendapat tempat di kehidupan sehari-hari. Mereka dianggap aneh sehingga tidak layak diberi tempat. Ucok Baba mungkin salah satu yang beruntung, keterbatasan fisiknya tidak menjadikan ia terkucil dari lingkungannya. Tapi, saya yakin, keberuntungan Ucok Baba itu belum bisa mewakili sepersekian persen dari seluruh anggota komunitasnya, sebab perbedaan persentase antara yang beruntung dengan yang tidak jomplang sangat jauh.

Sebenarnya, selain komunitas cebol itu masih ada kelompok-kelompok lain yang mendapat perlakuan yang serupa. Misalnya, kelompok difabel maupun penderita autis dan down sindrome. Saya memiliki tetangga yang anaknya menderita down sindrome. Sayangnya, ketidakterimaan (baca gengsi, red) orang tua atas "sakit" yang diderita anak ini justru mengakibatkan si anak tidak bisa menikmati hidup sesuai porsinya. Si orang tua menginginkan anaknya diperlakukan sama layaknya anak-anak normal lainnya. Padahal, sebagai penderita down sindrome―menurut saya―justru ia memang harus diperlakukan berbeda. Si anak dipaksa melakukan aktivitas―belajar dan bermain―seperti teman-teman seusianya yang relatif normal. Jika anak ini gagal atau membandel tidak mau mengerjakan perintah ibunya, maka cubitan pun akan diberikan sebagai hadiahnya. Duh, saya sering tidak tega jika melihatnya.

Kakak saya pernah bercerita, di Italia, perusahaan, instansi, atau lembaga wajib mempekerjakan satu atau dua orang penyandang cacat, atau penderita autis dan down sindrome setiap tahunnya. Kebijakan yang diatur negara itu dimungkinkan untuk menjamin masa depan mereka. Entah di negara lain, mungkin juga menerapkan kebijakan yang sama, tapi yang jelas tidak Indonesia. Di Indonesia, (realitanya) tidak ada kebijakan yang mengakomodasi kepentingan para 'manusia terbatas' itu, lhawong yang 'normal' dan 'lengkap' saja tidak mendapat ruang......

Dulu, saat masih menjadi wartawan sebuah harian di Solo, saya sempat berkenalan dengan Mbak Risna, seorang penderita difabel yang selalu bersemangat menghadapi hidup. Saya mengagumi Mbak Risna yang cerdas, tidak pernah mengeluh, optimis menghadapi apa pun, dan selalu ber-positive thinking. Dia tidak pernah menaruh curiga terhadap orang lain. Dia juga selalu melihat waktu sebagai kesempatan. Perkenalan kami diawali dari adanya informasi yang saya dapat dari seorang teman, bahwa ada penyandang cacat yang akan mewakili Solo presentasi di China. Singkat cerita, saya mendapat nomor kontak Mbak Risna, dan kami pun menyusun jadwal bertemu. Saat melihatnya kali pertama, pada sekitar bulan Februari 2002, saya cukup tercengang. Ternyata, meskipun kedua kakinya lumpuh, tapi Mbak Risna ini terlihat sangat cantik. Perpaduan yang kontras memang. Namun lihatlah senyum yang tidak pernah lepas dari raut wajahnya, sungguh menentramkan siapa saja, bahkan orang yang belum mengenalnya secara pribadi.

Dia bersemangat sekali menceritakan soal materi yang hendak dipresentasikannya di Kunming, China. Tema yang akan disampaikannya mengenai konsep tata kota yang aksesibel bagi difabel di Kota Surakarta. Hasil diskusi dari materi presentasi itu nantinya akan ia implementasikan dalam wujud penyediaan sarana aksesibilitas di Kota Solo, seperti apa model aksesibilitas yang cocok bagi para difabel di kota itu. Waktu itu, di Solo, aksesibilitas bagi difabel masih dianggap "isu yang tidak seksi" sehingga masih belum layak dimuat di media massa yang terbit di kota tersebut.

Dari wawancara singkat itu pun berlanjut hingga akhirnya kami menjadi teman baik. Kami jadi sering curhat dan berdiskusi tentang apa saja. Mbak Risna, menurut saya, merupakan teman yang asyik diajak ngobrol. Selain profesinya sebagai dosen di fakultas teknik, dia juga salah seorang aktivis LSM di Solo, juga adanya dukungan besar dari keluarganya yang memungkinkannya berwawasan luas. Sayangnya, kami tidak lagi berkomunikasi sejak saya meninggalkan Solo. Cuma, dari beberapa orang teman, saya tahu, saat ini, Mbak Risna baik-baik saja dan dalam keadaan sehat, serta masih melakoni aktifitasnya sebagai dosen dan penggiat LSM. Oiya, saya jadi ingat, dulu Mas Roni pernah menjanjikan hendak mengajarinya menulis, gimana Mas, sudahkah janji itu kamu penuhi?

Kembali ke D'Cinnamons. Di situ, ada adegan para cebol itu berkumpul dengan pasangannya masing-masing―saya tidak berani memastikan pasangan mereka itu sebagai istri ataupun suami, sebab bisa jadi mereka 'baru' sepasang kekasih―yang menggambarkan alangkah hangat kebersamaan yang mereka ciptakan bagi sesama komunitasnya. Dalam "keterbatasan" mereka, mereka saling memancarkan cinta dan kasih sayang. Ah ya, D'Cinnamons―yang menuliskan "love the answer" dalam ending video klipnya itu―benar, bahwa cinta bisa menjawab segala hal, perbedaan dan keterbatasan fisik tidak menjadi kendala bagi seseorang untuk mencintai dan dicintai.

[Ku Yakin Cinta] "ku datang, mencari satu alasan, 'tuk menepis semua keraguan di dalam hatiku ini, benarkah bahwa cinta mampu mengobati, segala rasa sakitku ini, ingin ku percaya, ingin ku percaya, kau bilang cinta slalu mengerti, kau bilang cinta tak salah, kau bilang cinta kan saling percaya, na ra ra ra ram… hmmm… ku kira ku tak kan mampu sadari, ketulusan cinta yang sempurna, di balik semua kekurangan ini, namun denganmu, ku tahu cinta kan mengobati, segala hampa hatiku ini, kini ku percaya, kini ku percaya, ku yakin cinta selalu mengerti, ku yakin cinta tak salah, ku yakin cinta saling percaya, na ra ra ra ram… hmmm… yakinlah cinta selalu mengerti, yakinlah cinta tak salah, yakinlah cinta kan saling percaya, na ra ra ra ram… hmmm…"***

19 Juli 2007

Ugh…….!!! [2]

Saya kembali diserang sakit radang tenggorokan. Benar-benar menyebalkan. Padahal radang ini belum sebulan yang lalu kambuh, dan sekarang, walah kok ya tega-teganya menyerang saya lagi. Persediaan obat saya sudah menipis, jadi sepertinya harus singgah dulu ke apotek sepulang dari kantor nanti malam.

Penyebab kambuhnya sih saya tahu. Gara-garanya, saya nekat makan oleh-oleh pemberian Dani–ilustrator Majalah Kombinasi. Sebenarnya saya tidak akan menyalahkan Dani atas oleh-oleh tersebut. Pasalnya, saya sendirilah yang meminta dia untuk membawakan saya camilan, jika dia hendak ke CRI–kantor saya. Saya mengharapkan Dani mengoleh-olehi saya keripik paru, seperti yang biasa dia bawakan untuk saya setiap kali datang ke CRI. Namun ternyata Dani membawa sebungkus kacang–entah kacang apa, saya tidak begitu tahu–dan pillow (snack ini merupakan genre lain dari krupuk, berbentuk kotak kecil-kecil, dan dilapisi keju). Nah, saya terlalu asyik makan pillow itu, hingga hampir separo isi toples saya habiskan sendiri.

Alhasil, malamnya, saya terserang batuk-batuk hebat, tenggorokan saya seperti disayat-sayat, perih. Saya belum curiga jika radang tenggorokan saya bakalan kambuh. Hingga pagi harinya, saat terbangun karena hendak menerima telepon dari Syamsul Alam (Kendari), ehh..... ternyata suara saya justru tidak mau keluar. Saya musti berdehem-dehem beberapa kali agar suara saya bisa keluar, untuk sekadar mengucapkan "halo" pada Syamsul. Saya sempat meng-SMS Thalib, memberi tahu kalau radang tenggorokan saya kambuh. Dia membalasnya dengan menulis, "Minum obat dulu biar agak mendingan." Balasan SMS itulah yang menjadi reminder saya untuk segera ke apotek, karena saya hampir kehabisan persediaan obat.

Dan selama di kantor, saya tersiksa setengah mati dengan tenggorokan saya yang benar-benar tidak mau diajak kompromi ini. Padahal, saya tengah dikejar deadline, ngedit materi Kombinasi Edisi 21 dan Buletin Kaukus 17++ yang segera naik cetak. Plis, tolongin saya dong…..***

Sebuah Pertanyaan untuk Cinta*

[Percakapan imajiner dengan empat laki-laki]

AW [pertengahan Desember 2006]
Malam cinta, lagi ngapain?
Nonton tivi.
(Singkat, dan menurut saya cukup jelas untuk menjawab pertanyaan AW yang disampaikannya melalui SMS)
Sy ingin tau, slama ini sbenarnya spt apa sih kamu mengapresiasi hub kita?!
(Dia kembali meng-SMS saya setelah sekitar satu jam berjeda)
Gw ga tau, gw cuma menganggap lu sbg teman skaligus kekasih dlm hidup gw.
Gak lebih?
Mo kelebihan spt apa?! Lu ga eksis tapi lu ada. Gw serasa mencintai bayangan aja.
Aduh cinta, bukankah sy slalu ada setiap kali kau butuh sy. Stiap hari sy slalu kangen ama kamu, spt itu kamu masih sj meragukan cintaku.
Lu salah, bukankah gw ga pernah benar2 penting buat hidup lu. Ada hal2 lain yg slalu membuat lu meno2kan gw.
Tidak, lu slalu istimewa buat sy.
Bokis!!!
(Setelah itu, percakapan SMS kami malam itu berhenti)

ST
(HP saya berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Oohh, nomornya tidak tercatat di phonebook HP saya)
Halo Yang, lagi di mana, berisik sekali.
(Ah ya, saya mengenali suaranya)
Nggak usah telpon-telpon gw lagi!!!
(Dengan ketus saya menjawab telepon itu)
Kenapa sih Yang, kok marah-marah mlulu. Lagi di mana sih, berisik banget.
Di bus.
Mau ke mana?
Ke Solo.
Emang dari mana?
Semarang.
Dalam rangka apa, nyampe Solo kira-kira jam berapa?
Main, dari Semarang, keasyikan ngobrol ama Mas Roni, kehabisan bus yang ke Jogja, terpaksa lewat Solo.
Mau dijemput di Solo nggak, kebetulan gw lagi ada di Solo nih, lagi nanganin perkara.
Nggak usah, gw bisa sendiri. Nggak usah nelpon gw lagi deh.
Kenapa emangnya?
Kok masih nanya kenapa!
Lha gw nggak tau apa-apa lho Yang, ada apa sih, jangan marah-marah terus deh.
Lagi lu tuh ngirim SMS najis gitu deh. Kita putus.
SMS yang mana Yang, tunggu gw di Jogja aja, kita selesaikan.
(Tapi dia tidak pernah benar-benar datang)

AW [15 Juni 2007, sore]
Hai!!! Senang deh, lusa saya mau ke Jogja, kamu jemput saya ya. Saya menginap di Jogja Plasa, jauh nggak dari kosmu?
Di Colombo itu.
Apa itu Colombo?
Nama daerah.
Jauh nggak, mau jemput saya nggak, saya nyampe Jogja malam deh.
Iya, tunggu aja.
Mau berapa hari di Jogja?
Kalau kamu nggak sibuk, seminggu ya saya di sana. Saya kangen.
Oke.

SA
(Dengan nada tinggi SA menanggapi pembicaraan saya saat saya mengangkat topik mengenai AW, melalui telepon)
Kenapa kamu tidak berusaha menahan diri? Kamu terlalu mudah percaya dia benar-benar jatuh cinta padamu.
Tapi saya benar-benar jatuh cinta padanya.
Kamu salah, kamu hanya tergoda untuk jatuh cinta padanya. Saya yakin sekali ini hanya sesaat. Atau jangan-jangan kamu malahan hanya sedang berkhayal bahwa kamu tengah jatuh cinta padanya dan dalam khayalanmu itu kamu membayangkan dia juga tergila-gila padamu. Ini tidak nyata, Sayang. Ayolah, bangun, hadapi realitanya.
Saya tidak tahu, saya bingung. Saya tidak bisa menjelaskannya, yang pasti saya merasakan ini, saya benar-benar sedang jatuh cinta padanya.
Terserah kamu saja, tapi aku harap kamu mengerem dulu semua rasamu itu, masih akan ada banyak kesempatan, Honey.
Oke, waktu akan membuktikannya.
Sudahlah Sayang, percaya deh ama aku, waktu tidak akan membuktikan apa-apa. Menjadi kekasihku sajalah, kamu tidak perlu lagi berkeliling dunia untuk menemukan cinta sejatimu, karena aku ada di depan matamu.
(Saya terdiam)

AW [23 Juni 2007, di Bandara Adi Sucipto, pukul 06.00 WIB]
Saya balik, nanti saya SMS. Tolonglah yakin dengan hubungan ini.
(Saya tidak menjawab apa-apa)

ST [setelah enam bulan berselang, tanpa kabar]
Halo Yang, apa kabar?
Tolong, jangan panggil gw dengan panggilan itu lagi. Kita bukan lagi sepasang kekasih.
Nggak. Lu tetap milik gw, sampai kapan pun.
Please, jangan membuat saya sedih. Saya capek dengan hubungan kita.

AW [dua minggu kemudian]
Ternyata, saya tidak memiliki apa pun yang bisa merepresentasikan dirimu.
Duh, segitunya deh.
(Beberapa menit kemudian, saya baru memikirkan makna ucapannya itu)

AM [komunikasi melalui Yahoo Messenger]
Say, jujur deh, apa sih yang membuat lu jatuh cinta ma gw?
Gw? Jatuh cinta ma lu? Kayaknya belum deh.
Ayolah, apa dong yang membuat kamu tertarik sama aku? Bukan secara fisik lho, karena kita kan belum pernah bertemu muka.
Ga ada. Sumpah.
Lantas, menurut kamu, hubungan kita tuh seperti apa sih?
Gw ga tau. Lu ga eksis. Tolong jangan pernah lagi nanyain kayak gituan ke gw.

[*Judul salah satu cerpen Seno Gumira Ajidarma]

16 Juli 2007

Agama yang Lain

Takmad Diningrat (67 tahun), sebelum saya ke Indramayu pada akhir Januari 2007 lalu, saya belum pernah sama sekali mendengar namanya. Dia adalah pemimpin atau ketua adat–atau apalah istilahnya–dari komunitas Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Indramayu. Ketika Hero Gunawan–salah seorang teman dari Losarang–menceritakan soal komunitas unik itu, saya langsung tertarik. Hero pun bersedia mengantarkan saya ke sana.

Eits, jangan salah sangka dulu, ini bukan Suku Dayak seperti yang ada di Kalimantan lho. Melainkan, Dayak bermakna eksistensi manusia di lingkungan alam semesta. Dayak berasal dari kata ayak (nama alat penyaring). Jadi, Dayak berarti orang-orang pilihan, hasil seleksi, saringan, atau ayakan alam. Kata Hindu Buddha pun tidak merujuk pada nama agama. Hindu berarti jiwa dan Buddha bermakna raga. Sedang Bumi Segandu adalah nama tempat komunitas tinggal*).

Ketika menginjakkan kaki ke kompleks permukiman komunitas itu, saya agak keder juga. Yang ada dalam benak saya adalah sosok kepala suku yang angkuh, sulit ditembus, dan 'menjaga jarak' dengan orang asing. Namun ternyata, sosok Takmad sungguh berbeda dari bayangan saya. Sikapnya yang ramah dan tanpa pretensi, membuat saya nyaman bercakap-cakap dengannya. Meski, ada satu kendala yang cukup mengganggu, yakni perbedaan bahasa kami berdua. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan sesekali saya selingi dengan bahasa Jawa. Sedangkan sang kepala suku ini, konsisten berbicara dalam bahasa Indramayu kuno yang sulit sekali saya pahami. Untunglah ada Hero yang berperan sebagai penerjemah, meskipun–sebagai orang Indramayu modern–dia harus berjuang setengah mati memahami kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Takmad.

Meskipun anggota komunitas ini juga menganggap Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu sebagai "agama", sebenarnya ajaran yang disampaikannya cukup sederhana. Mereka terbiasa menamakan ajaran itu dengan "Sejarah Alam Ngaji Rasa" yang intinya mengajarkan manusia untuk selalu sabar, bertindak benar, dan jujur, serta menyelaraskan segala macam tindakannya dengan keberadaan alam semesta.

Namun ada satu lagi ajaran yang harus ditaati oleh seluruh anggota komunitas–Takmad mengklaim anggota komunitasnya berjumlah 7.000-an orang. Bahwa laki-laki harus menghargai keberadaan perempuan dan anak-anak. Laki-laki anggota Suku Dayak harus mendahulukan kepentingan perempuan dan anak-anak. Dalam komunitas itu, laki-lakilah yang harus bekerja keras memenuhi semua kebutuhan perempuan dan anak-anak. Wah, kalau soal yang satu itu saya sepakat banget (secara gituloh….), ternyata si Takmad ini cukup sadar gender juga ya.

Ajaran lain dalam komunitas "aneh" itu dilarang mengonsumsi daging, jadi mereka harus menerapkan pola makan vegetarian. Saya agak tidak percaya dengan itu, mengingat beberapa laki-laki yang tinggal di kompleks itu berperut cukup buncit. Hero meyakinkan saya dengan bercerita, "Kabarnya mereka memiliki ilmu kesaktian kebal tubuh. Jadi, kalau di Indramayu dan kota-kota sekitarnya ada demonstrasi yang dimungkinkan bakalan rusuh, Takmad diundang sebagai pengaman di garis depan. Untuk itu pihak aparat keamanan cukup memberinya mentimun sebanyak satu karung sebagai upah." Lah, kok kayak kelinci saja, pikir saya.

Sebagai lelaki normal, Takmad juga berkeluarga. Saat ini, dia tinggal memiliki lima orang anak dari 12 anak yang dilahirkan dari rahim Sarini, perempuan yang dinikahinya pada tahun 1974 (anak-anaknya yang lain meninggal dunia). Saya sempat berkenalan dengan Nyi Dewi Ana Mustika Ratu, biasa dipanggil Nyi (9 tahun)–tapi saya lupa dia anak yang keberapa. Saya agak surprise melihat "gaya" dia. Sebagai anak kepala suku yang mengasingkan diri dari peradaban, Nyi cukup beradab. Di tubuhnya, terlihat perhiasan yang cukup mencolok, beberapa gelang emas di pergelangan tangan kanan dan kirinya, juga kalung dengan rantai yang lumayan besar.

Saat saya bertanya, adakah ia sekolah, dengan mantap ia pun menjawab, "Kelas 2 SD Krimun." Lantas, ia pun bercerita dengan gaya kenes, bahwa gurunya sering kali 'takut' berhadapan dengannya, karena dia anak ketua adat. "Saya belum bisa membaca, tapi saya suka sekali bernyanyi," begitu terangnya, saat saya bertanya apakah dirinya sudah mahir membaca dan menulis. Nyi pun lantas memamerkan keahliannya bernyanyi di depan saya dengan diiringi permainan organ oleh salah seorang kakak laki-lakinya. Takmad agak kesulitan mendeskripsikan soal organ itu kepada saya. Dengan kosakata yang terbatas, dia hanya sanggup menerangkan, "Dia suka sekali bernyanyi pakai 'alat musik yang digenjot-genjot' itu." Kurang lebih seperti itulah penjelasan yang bisa ia sampaikan kepada saya, tentu saja dalam bahasa Indramayu dan telah disadur bebas oleh Hero. Tapi, digenjot-genjot?! Saya sama sekali tidak paham dengan "alat musik yang digenjot-genjot" itu. Sungguh, saya tidak dapat membayangkan alat musik seperti apakah bentuknya hingga bisa digenjot-genjot itu. Sampai akhirnya saya sedikit memaksanya untuk menunjukkan alat musik tersebut, daripada saya hanya membayangkannya dan ternyata salah. Agak tercengang juga ketika saya melihat langsung alat musik yang digenjot-genjot itu, oalah, ternyata organ to (mungkin deskripsi yang tepat untuk alat musik itu adalah dipencet-pencet, bukan digenjot-genjot).

Rupanya, Nyi juga mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap teknologi. Buktinya, dia begitu antusias dengan kamera digital yang saya bawa. Saya pun tidak segan mengajarinya mengoperasionalkan kamera tersebut. Dia sangat suka memotret ibu dan anjingnya. Malahan, dia meminta saya untuk memotretnya dengan berganti-ganti pose. Saya suka sekali dengan gadis kecil itu. Dia bukan gadis pingitan yang canggung menghadapi orang asing.

Di akhir pertemuan kami, Takmad menghadiahi saya sebuah gelang dari bahan bambu. Katanya, gelang itu merupakan "tanda" identitas komunitasnya. Dia bilang, pertemuan kami sebenarnya memang telah ia ramalkan. Bahkan, sebelumnya, ia juga bermimpi saya akan mengunjunginya. Entahlah, untuk yang terakhir rasanya sulit sekali dipercaya. Tapi sebagai tanda hormat dan ucapan terima kasih, saya mengiyakan gelang itu ia pasangkan di pergelangan tangan kanan saya.***
[*)Potret-SCTV, Sabtu 27 Januari 2007]

15 Juli 2007

Kangen

"twinkle twinkle little stars, how I wonder what you are, up above the world so high, like a diamond in the sky, twinkle twinkle little stars, how I wonder what you are…"

Ah ya, lagu ini mengingatkan saya kepada beberapa orang–kepada merekalah saya menyimpan rindu. Yang pertama adalah almarhum bapak saya. Dialah orang pertama yang mengenalkan lagu itu kepada saya saat saya kecil dulu. Meskipun bapak tidak bisa berbahasa Inggris tapi dia nekat juga mengajari saya menyanyikannya.

Orang kedua adalah Mas DH, sahabat saya yang meninggal karena sakit. Dulu, sewaktu kami masih getol mendaki gunung, Mas DH selalu menyanyikan lagu itu sambil bermain gitar untuk saya.

Sedangkan orang yang ketiga adalah si Twinklestar, laki-laki yang telah empat tahun ini 'mengaku' sebagai kekasih saya. Lagu itu ia perdengarkan "kali pertama" kepada saya saat saya masuk ke mobilnya, juga untuk yang pertama kalinya.

Kangen saya terhadap mereka bertiga, sungguh, tidak dapat terganti oleh apa pun juga. Dan saya….. ternyata saya cukup setia menjaga semua kangen itu untuk mereka. Naif, mungkin saja. Tapi biar saja, saya toh bahagia dan menikmatinya.***

08 Juli 2007

Harta Karun

Kemarin, saya menerima SMS dari Mas Roni yang isinya kurang lebih, "Nanti jika buka email, di situ akan tersimpan harta karunku, Martoloyo dan Puspa Tajem." Martoloyo adalah cerita bersambung dalam bahasa Tegal yang saat ini tengah digarapnya di harian Suara Merdeka. Sedangkan Puspa Tajem adalah judul novel yang hendak ia terbitkan. Novel itu merupakan cita-cita besar dalam hidupnya yang telah tertunda penyelesaiannya hingga dua tahun.

SMS itu sempat membuat saya tertegun, Mas Roni punya harta karun, lah saya?! Mas Roni–sahabat sekaligus guru menulis saya–selalu beranggapan tulisan-tulisan yang dihasilkannya merupakan "harta karun" dalam hidupnya. Kemampuannya menghasilkan tulisan yang bagus selalu saja membuat saya iri. Ah, andaikan saya dikuliti, ternyata saya tidak mempunyai potensi apa-apa dalam hidup saya yang bisa saya banggakan untuk dijadikan harta karun. Saya memang mempunyai sedikit kemampuan untuk menulis. Namun saking sedikitnya kemampuan itu malahan bisa dikatakan pas-pasan.

Eh, setelah saya pikir-pikir lagi, sebenarnya saya masih mempunyai kemampuan lain yang cukup bisa diandalkan. Yakni kemampuan untuk menyakiti hati orang lain. Kalau untuk urusan yang satu itu, saya ahlinya. Saya sangat bisa mencela hasil pekerjaan orang lain, padahal pekerjaan saya sendiri saja jauh dari beres. Saya juga bisa merendahkan derajat orang lain, padahal saya sendiri bukanlah orang yang punya derajat tinggi. Itulah saya. Harta karun saya justru di mulut saya yang sangat suka membicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain, padahal saya juga bukanlah orang yang bagus dan lengkap.

Saya sepakat dengan bunyi iklan "Mulutmu Harimaumu". Itu sering mengingatkan saya agar bisa mengerem laju mulut saya yang selalu ingin berbicara nyinyir kepada orang lain.

Mas Roni sering menasehati saya agar rajin bertahajud dan ikhtiar, karena hanya itu kunci untuk menemukan "harta karun" saya. Sayangnya, dasar saya memang pemalas, jangankan mengambil air wudu untuk bertahajud, buat bangun malam saja rasanya…. ampun deh…. mendingan narik selimut lebih rapat menutupi tubuh saya saja!

Saya memang belum menemukan harta karun saya, hiks...hiks... saya bahkan tidak tahu di mana harus mencarinya. Anda, bagaimana? Kadang saya juga kepingin seperti Santiago–si anak gembala dalam Sang Alkemis (Paulo Coelho), karena untuk menemukan harta karunnya, ia sempat diberi petunjuk melalui mimpi yang berulang. Meskipun petunjuk itu sendiri pun ia ingkari, dan Santiago memilih berkelana mencari harta karunnya. Padahal harta karun itu tersimpan di bawah pohon sikamor yang selama hidupnya menjadi tempat ia dan domba-dombanya bermain.

Kepinginnya sih, saya tidak perlu harus "berkelana" untuk menemukan harta karun saya. Ah, andai saja harta karun itu diperlihatkan secara gamblang di depan mata saya dan saya tinggal mengambilnya kapan pun saya menginginkannya..... ***

Click!

Ketika membaca judul itu pasti Anda akan langsung teringat pada sebuah film dengan judul yang sama. Ya, tulisan ini memang diilhami oleh film tersebut. Sebenarnya saya belum sempat menonton film yang dibintangi Adam Sandler itu. Saya hanya pernah membaca ulasannya yang ditulis di detik.com. Nantilah, saya akan menyempatkan diri untuk hunting film yang tidak realistis itu.

Sama dengan yang terjadi di Click, saya sering berkhayal, seandainya saja saya mampu mengendalikan waktu. Atau kembali ke satu waktu yang benar-benar ingin saya ulang. Atau kadang saya kepingin ke satu masa tertentu hanya untuk mencegah sebuah peristiwa tidak terjadi menimpa saya, hingga saya mampu mengubah sejarah hidup saya sendiri.

Seorang teman sekantor saya pernah bertanya, seandainya kamu diberi kesempatan untuk mengulang waktu, kira-kira kamu ingin mengulang waktu yang mana? Ah, saya sempat tertegun sejenak dengan pertanyaan yang (sebenarnya) tidak terlalu serius dia lontarkan itu. Ternyata saya butuh beberapa detik untuk menjawab pertanyaan guyonan itu. Ya, saya harus menata hati agar jawaban yang saya berikan terdengar “biasa”. Lantas, sedikit tergagap namun mantap, saya menjawab pertanyaan–yang sebenarnya sudah lama ingin saya sampaikan kepada orang lain, tapi saya tidak pernah punya kesempatan melakukannya, sebab selama ini tidak pernah ada yang menanyakannya kepada saya–itu, “Saya ingin kembali ke tanggal 15 Februari 2001.” Saya tahu jawaban itu cukup membuat dia heran. Kenapa? Saya sendiri tidak tahu kenapa, dari sekian banyak hari dan tanggal yang telah saya lewati dalam hidup saya, kenapa saya harus memilih tanggal itu untuk saya ulang. Tidak, tidak, tanggal itu bukan tanggal kelahiran saya, sebab saya lahir tanggal 30 September. Itu hanya tanggal saat saya mengalami kejadian kecil dalam hidup saya, namun hingga kini peristiwa itu tidak pernah bisa saya lupakan.

Masing-masing orang pasti pernah mengalami peristiwa buruk dalam hidup mereka. Saya pun juga pernah mengalaminya. Dan tanggal itulah yang saya pikir merupakan saat terburuk dalam hidup saya. Meskipun, ada beberapa momen dalam hidup saya yang sangat ingin saya ulangi, tapi peristiwa di tanggal 15 Februari itulah momen yang paling ingin saya ubah kejadiannya. Maaf, saya tidak akan membahasnya secara detail di sini, sebab meskipun saya termasuk orang yang cukup cerewet, akan tetapi untuk menceritakan peristiwa tanggal 15 Februari itu saya benar-benar tidak bisa melakukannya. Tidak sekarang, mungkin nanti.

Kembali ke Click, saya seringkali membayangkan jika seandainya waktu benar-benar dapat diputar, apa yang akan terjadi dengan hidup saya ya…. Seandainya saya bisa dilahirkan kembali, kira-kira saya akan memilih dilahirkan menjadi siapa ya…. Saya bukannya tidak bersyukur dengan apa yang telah saya dapatkan sekarang ini, tapi andai saja saya diberi kesempatan menjadi orang lain, sungguh, alangkah “kaya” hidup saya.***

03 Juli 2007

“Bidadari Penyelamat”*

Saya salah seorang penggemar berat acara K!ck Andy di Metro TV setiap Kamis malam. Salah satu yang saya gemari di acara tersebut adalah Andy F Noya, bukan karena dia berambut keriting lho, tapi lebih karena saya melihat kehadiran Andy dengan talk show-nya itu selayak "bidadari penyelamat" bagi banyak orang.

Di negeri ini, menurut saya, ada banyak sekali "larangan" yang jika dilanggar akan fatal sekali akibatnya. Di antaranya dilarang miskin, dilarang sakit, dilarang cacat, dilarang tidak cantik, dan masih banyak lagi larangan yang bersifat mendiskreditkan kelompok orang tertentu. Namun, untunglah negara ini memiliki orang seperti Andy. Saya sih masih yakin sebenarnya ada banyak sekali "Andy" di seluruh penjuru negeri ini, cuma mereka tidak mempunyai kesempatan mengelola talk show seperti Andy F Noya.

Saya percaya, setiap orang memiliki "mukjizat"-nya masing-masing. Apa pun bentuknya. Saya juga percaya Tuhan ada di mana-mana. Setiap kali acara K!ck Andy berakhir, saya selalu saja menggumamkan, "Akan selalu ada malaikat penyelamat dalam hidup seseorang." Saya mengagumi Andy karena dia selalu bisa menciptakan mukjizat bagi orang lain. Sedangkan saya….. Jangankan menjadi mukjizat bagi orang lain, hingga detik hari ini pun saya masih terus mengharapkan mukjizat itu hadir dalam hidup saya.

Suatu hari, saya menerima email dari Mas Roni–sahabat saya yang tinggal di Semarang–yang isinya cukup membuat saya "terharu-biru". Email itu sebenarnya jawaban dia atas pertanyaan saya, seperti apa sebenarnya dia memandang saya selama ini, dan jawabannya:
"duk, biduk, biduk, duk biduk
dulu, sekarang, dan semoga selalu: kamu orang baik.
itu yang ada dalam pikiranku.
hanya saja, dalam dunia yang jungkirbalik ini, orang
sering keliru menatap kebaikan orang.
saran saya: kamu hanya butuh selalu bersabar untuk
terus jadi orang baik. dan kamu harus yakin itu.
dan sebenarnya tak mudah jadi orang baik.
tapi kamu jangan seperti saya: pura-pura jadi orang
yang baik. karena sebenarnya aku lagi terus belajar
menjadi orang baik.
duk, biduk, biduk.
jangan cari malaikat penyelamat atau mukjizat. semua
ada di dirimu. pepatah jawa bilang: usada iku ana ing awake
dhewek.
salam sayang"

Ah, Mas Roni masih saja beranggapan saya adalah orang yang baik. Padahal, mungkin saja, secara sadar atau tidak sadar, saya masih sering menyakiti hati orang lain.

Mas Roni juga sering mengingatkan saya, bahwa ada "malaikat hidup" yang ada di dekat saya dan saya tidak perlu mencarinya terlalu jauh. Yakni Mami saya. Saya memang melihat Mami adalah seorang perempuan yang sangat hebat. Sejak bapak saya meninggal, Mami harus berjuang sendiri melanjutkan hidup. Mami selalu berusaha tidak mengeluh. Bahkan rumah besar peninggalan bapak itu mau tidak mau harus dirawatnya seorang diri karena tidak ada anak-anaknya yang mau tinggal lama di sana. Saya sangat tahu Mami kesepian menghuni rumah sebesar itu sendirian. Mba Ika–kakak saya–memilih tinggal di Italia, saya dan Cendhul–adik bungsu saya–tinggal di Jogja, sedangkan Robi' dan Rois–dua adik laki-laki saya–sekarang di Solo (Robi' meskipun dia selalu pulang ke rumah, namun keberadaannya tidak pernah benar-benar di rumah).

Selama ini, saya memang selalu menjadikan Mami dan rumah sebagai "bidadari penyelamat" dalam hidup saya. Sebab, ketika di rumah, segala macam persoalan seperti tiba-tiba menemukan jalan keluarnya sendiri-sendiri, semua masalah selesai dengan sendirinya. Tapi, saya selalu saja mencari-cari alasan untuk tidak pulang. Bahkan Mami sampai memohon-mohon agar saya mau pulang sebentar. Tapi ya itu tadi, entah kenapa, saya malas sekali pulang. Walah, tiba-tiba saya kok malah jadi sangat rindu rumah. Kangen nasi goreng buatan Mami yang rasanya paling enak sedunia, menurut saya.***
[*judul lagu Slank]

01 Juli 2007

Ugh…….!!!

Beberapa hari ini merupakan siksaan paling menyakitkan dalam hidup saya. Pasalnya, sejak Kamis kemarin, radang tenggorokan saya kambuh. Dan sakitnya, alamak…. minta ampun. Sebenarnya saya sudah minum obat, FG Troches Meiji (tablet hisap)–atas saran Mas Budi, teman sekantor saya–tapi belum juga pulih. Radang ini sangat menyiksa saya karena saya terpaksa harus mengurangi frekuensi ngoceh dan bersenandung.

Dalam hidup saya, ada dua penyakit lain yang terus-menerus menjadi sahabat setia tubuh saya, selain radang tenggorokan itu. Yakni migren dan maag. Keduanya, jika sudah kambuh pasti menimbulkan efek yang betul-betul menyakitkan. Selain saya pasti akan mengalami muntah-muntah hebat, tubuh saya juga tidak bisa diajak kompromi untuk bekerja karena sangat lemas. Bahkan jika migren saya kambuh, saya juga akan mengalami pengaburan pandangan yang cukup fatal.

Kedua penyakit itu sebenarnya telah lama saya derita. Saya mendapatkan serangan maag pertama kali saat liburan kelas IV SD. Sedangkan migren itu mulai menyerang saya ketika saya duduk di bangku kelas I SMA. Kalau untuk maag, saya pernah memeriksakannya ke dokter dan hanya diberi obat. Setelahnya, jika kambuh, saya tidak pernah lagi ke dokter melainkan hanya meminum obat yang diresepkan dokter-dan untungnya obat itu ternyata bisa saya beli secara bebas di apotek. Tapi untuk urusan migren, ternyata saya cukup pengecut untuk memeriksakannya ke dokter. Selama ini jika kambuh, saya hanya mengonsumsi Ultraflu sebagai penangkal. Sebelum saya memutuskan untuk jatuh hati dengan Ultraflu, saya telah mencoba beberapa merek untuk mengatasi migren saya. Namun akhirnya pilihan terakhir jatuh kepada Ultraflu, karena memang hanya merek inilah yang cocok dengan tubuh saya dan terbukti ampuh menangkal migren yang sering menyebalkan itu.

Mas Roni–sahabat saya–sering menasehati saya untuk segera menghentikan kebiasaan saya bergantung dengan Ultraflu. Malahan dia menakut-nakuti saya dengan berujar, “Kalau seandainya tiba-tiba pabrik Ultraflu tutup, gimana?” Atau tiba-tiba dia menelepon saya, “Ada berita penting! Tadi pagi MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ultraflu haram hukumnya bagi perempuan!” Bayangkan, ada-ada saja idenya untuk menyetop ketergantungan saya terhadap Ultraflu.

Saya memang tidak bisa hidup tanpa obat. Di tas saya, selain isinya mukena (kecuali saat saya ‘utlah), Coffemix, dan perlengkapan kerja, saya juga selalu menyiapkan obat maag, radang tenggorokan, Ultraflu, dan obat anti muntah sebagai stok persediaan. Bagi saya, obat-obat ini penting untuk ‘menunjang’ hidup saya.

Sedangkan untuk urusan penyakit saya, selama ini saya hanya berusaha untuk meminimalisasi frekuensi kambuhnya dengan mengenali gejalanya dan meminimalkan pemicu kambuhnya–yang telah lama saya kenal karena memang telah akrab dengan tubuh saya.***