22 November 2007

Nako Oh Nako

Akhir-akhir ini saya memang sedang malas menulis. Padahal, saya sudah menyusun beberapa draf kasar untuk bahan tulisan, tapi tetap saja malas sekali rasanya mengembangkannya menjadi tulisan utuh. Beberapa orang dekat saya mulai protes dengan kemalasan saya itu dan justru mereka yang ketakutan jika saya mengalami stagnasi karya. [lagi, kenapa bukan mereka sendiri saja yang menulis, kenapa musti protes dengan kondisi stagnan orang lain ya, aneh!?]

Gini, beberapa hari yang lalu, saya benar-benar mendapatkan hikmah bersedekah. Ceritanya, saya–diantar Amik–hendak membeli kaca nako untuk mengganti nako jendela kamar kos saya yang pecah karena selotnya longgar. Berhubung saat itu hari Minggu, banyak toko kaca yang mayoritas pemiliknya beretnis Tionghoa tutup–saya tidak tahu pasti alasannya kenapa orang-orang China pemilik toko mempunyai kebiasaan tidak buka pada hari Minggu, padahal kebanyakan orang justru memanfaatkan hari Minggu untuk berbelanja–saya dan Amik harus rela mengitari hampir separuh Jogja untuk berburu 'selembar' kaca nako. Padahal, saat itu–meskipun sedang musim penghujan–cuaca Jogja sangat panas.

Perburuan kami awali dari Sagan, kebetulan kami baru saja sarapan soto di warung Pak Man. Karena kos saya terletak di kawasan Ngadisuryan, kami berpikir mendingan nyarinya di toko yang dekat dengan kos-kosan, sekalian jalan pulang. Kami pun meluncur ke jalan Brigjen Katamso. Namun, sayangnya, toko-toko besi dan kaca yang terletak di sepanjang jalan itu tutup. Kalaupun ada toko besi yang buka, tidak ada yang menjual kaca. Lantas, kami melanjutkan perjalanan ke jalan Parangtritis, hasilnya pun nihil. Amik sempat mengusulkan agar kami ke daerah Wirobrajan. Saya agak ragu mengambil keputusan untuk menentukan arah, saya juga melihat hal yang sama pada diri Amik. Itu terbukti ketika dari arah jalan Parangtritis bukannya belok ke kiri, tapi dia malah mengambil arah ke kanan, ke arah terminal Giwangan. Ya sudahlah, dengan sabar kami masuki satu per satu toko besi dan mengulang-ulang pertanyaan yang sama, ada kaca nako, kah? Dan sepertinya semua pemilik toko, pada hari itu, telah bersepakat untuk melontarkan jawaban: tidak ada atau sekadar menggelengkan kepala.

Di kawasan Pakualaman, setitik harapan muncul. Sebuah toko bangunan terang-terangan memajang tulisan “sedia kaca”. Kami pun bersemangat masuk ke toko itu yang pengunjungnya lumayan padat. Sedikit berdesakan, saya memaksa bertanya kepada seorang bapak pelayan toko, “Ada kaca nggak, Pak?” Bapak itu dengan enteng menjawab, “Ada, Mbak, tapi sayangnya tukang yang motong kaca sedang libur jadi nggak bisa hari ini.” Walah, pupus sudah sepercik asa yang kami pupuk sepanjang perjalanan.

Untungnya, Amik tidak cukup berputus asa. Guna memuaskan rasa penasaran kami–masak sih toko-toko se-Jogja nggak ada satu pun yang jualan kaca pada hari Minggu?!–lantas melanjutkan perburuan dengan menyusuri sepanjang jalan Solo dan Adi Sucipto. Seorang mas-mas yang menjaga sebuah toko besi menyarankan agar memutar arah ke Bataskota, katanya, “Kalau tidak sedang tutup, di depan Saphir Square ada toko kaca, Mbak, kecil sih tokonya, coba belok ke sana lagi saja.” Dengan mengobarkan semangat kami pun menempuh arah balik yang saat itu hampir mendekati Janti. Sayangnya, kami harus menelan kekecewaan sekali lagi karena ternyata toko yang dimaksud tutup.

Mengitari Demangan dan jalan Affandi, saya merasa sangat kehausan dan mengajak Amik singgah ke warung untuk membeli minuman. Awalnya, saya kepingin sekali minum es degan, wahhh pasti segar deh. Namun sekali lagi, saya harus ikhlas menerima kekecewaan yang menimpa saya bertubi-tubi karena sepanjang jalan kami tidak menemukan pedagang es degan. Ya sudahlah. Kami memutuskan menuju arah Selokan Mataram untuk minum es palu butung di warung bakso Ababil. Alhamdulilah, warung itu sudah buka. Setelah minum semangkuk es palu butung, saya masih merasa kehausan, maka saya memesan secangkir es teh lagi–eits, mas yang jaga warung itu sampai terheran-heran dengan tingkah kami yang seperti orang sedang mengalami dehidrasi :D.

Nah, saat itulah, muncul seorang ibu peminta-minta yang memakai setelan baju kurung berwarna hijau, sambil membopong sesuatu di lengan kirinya. Cukup lama ibu itu berdiri di depan pintu warung sambil tak henti ‘komat-kamit’ mengucapkan kata-kata khas pengemis, dan tidak ada satu pun pengunjung warung yang tergerak mengulurkan uang untuknya. Sepertinya, kesabaran ibu itu mulai habis, ia pun lantas melepas sandal jepitnya dan masuk ke warung untuk mengedarkan tadahan tangannya kepada pengunjung satu per satu. Secara bersamaan, saya juga tengah membuka dompet coklat saya untuk mengambil recehan supaya ibu itu tidak perlu repot-repot berputar mengitari warung menengadahkan tangannya. Tapi ibu itu telah lebih dulu ‘meluncur’ menuju saya sebelum saya sempat menghampiri dia. Kebetulan saat itu tidak ada satu pun uang recehan di dompet saya. Awalnya, agak terpaksa juga saya memberi uang lembaran kepada ibu itu, namun keterpaksaan itu mencair ketika ibu itu mengucapkan, “Terima kasih ya, Mbak. Semoga hidup Mbak selalu diberkahi Allah.” Iseng-iseng, sambil bercanda saya menyahut, “Amin. Doakan juga saya akan mendapat berkah supaya bisa berhasil memburu kaca nako, hehehehehe…” Saya tidak menyangka ibu itu akan membalas “Amin” atas doa yang saya ucapkan dengan guyonan.

Setelah membayar es yang kami minum, rute perburuan kami lanjutkan dengan menyusuri jalan Kaliurang. Di kilometer enam (kalau tidak salah), mata saya tertumbuk pada sebuah toko besi dan bangunan yang cukup besar, padahal saat itu toko itu hampir saja terlewati. Seorang encik menyambut saya dan menanyakan, mau cari apa? Agak ragu saya menjawab, kaca nako. Panjangnya berapa? Hah?! Saya sama sekali tidak menyangka akan secepat ini menemukan ‘mutiara’ yang telah setengah hari saya cari-cari itu. Dengan bersemangat saya pun menjawab, 92 cm. Si encik lantas memanggil pelayannya dan berkata ke arah saya, “Tunggu sebentar ya biar dipotongin, Rp 13 ribu.” Itu harga yang musti saya bayar untuk selembar kaca nako sepanjang 92 cm. Sambil menunggu si tukang menyiapkan nako yang saya pesan, saya dan Amik lantas tercenung, jangan-jangan inilah yang disebut para ulama hikmah bersedekah. Alhamdulilah, akhirnya, saya mendapatkan pelajaran berharga itu.***