01 Juli 2007

Ugh…….!!!

Beberapa hari ini merupakan siksaan paling menyakitkan dalam hidup saya. Pasalnya, sejak Kamis kemarin, radang tenggorokan saya kambuh. Dan sakitnya, alamak…. minta ampun. Sebenarnya saya sudah minum obat, FG Troches Meiji (tablet hisap)–atas saran Mas Budi, teman sekantor saya–tapi belum juga pulih. Radang ini sangat menyiksa saya karena saya terpaksa harus mengurangi frekuensi ngoceh dan bersenandung.

Dalam hidup saya, ada dua penyakit lain yang terus-menerus menjadi sahabat setia tubuh saya, selain radang tenggorokan itu. Yakni migren dan maag. Keduanya, jika sudah kambuh pasti menimbulkan efek yang betul-betul menyakitkan. Selain saya pasti akan mengalami muntah-muntah hebat, tubuh saya juga tidak bisa diajak kompromi untuk bekerja karena sangat lemas. Bahkan jika migren saya kambuh, saya juga akan mengalami pengaburan pandangan yang cukup fatal.

Kedua penyakit itu sebenarnya telah lama saya derita. Saya mendapatkan serangan maag pertama kali saat liburan kelas IV SD. Sedangkan migren itu mulai menyerang saya ketika saya duduk di bangku kelas I SMA. Kalau untuk maag, saya pernah memeriksakannya ke dokter dan hanya diberi obat. Setelahnya, jika kambuh, saya tidak pernah lagi ke dokter melainkan hanya meminum obat yang diresepkan dokter-dan untungnya obat itu ternyata bisa saya beli secara bebas di apotek. Tapi untuk urusan migren, ternyata saya cukup pengecut untuk memeriksakannya ke dokter. Selama ini jika kambuh, saya hanya mengonsumsi Ultraflu sebagai penangkal. Sebelum saya memutuskan untuk jatuh hati dengan Ultraflu, saya telah mencoba beberapa merek untuk mengatasi migren saya. Namun akhirnya pilihan terakhir jatuh kepada Ultraflu, karena memang hanya merek inilah yang cocok dengan tubuh saya dan terbukti ampuh menangkal migren yang sering menyebalkan itu.

Mas Roni–sahabat saya–sering menasehati saya untuk segera menghentikan kebiasaan saya bergantung dengan Ultraflu. Malahan dia menakut-nakuti saya dengan berujar, “Kalau seandainya tiba-tiba pabrik Ultraflu tutup, gimana?” Atau tiba-tiba dia menelepon saya, “Ada berita penting! Tadi pagi MUI mengeluarkan fatwa bahwa Ultraflu haram hukumnya bagi perempuan!” Bayangkan, ada-ada saja idenya untuk menyetop ketergantungan saya terhadap Ultraflu.

Saya memang tidak bisa hidup tanpa obat. Di tas saya, selain isinya mukena (kecuali saat saya ‘utlah), Coffemix, dan perlengkapan kerja, saya juga selalu menyiapkan obat maag, radang tenggorokan, Ultraflu, dan obat anti muntah sebagai stok persediaan. Bagi saya, obat-obat ini penting untuk ‘menunjang’ hidup saya.

Sedangkan untuk urusan penyakit saya, selama ini saya hanya berusaha untuk meminimalisasi frekuensi kambuhnya dengan mengenali gejalanya dan meminimalkan pemicu kambuhnya–yang telah lama saya kenal karena memang telah akrab dengan tubuh saya.***