23 Februari 2008

Tiba-tiba Sedih

Bi', saya ingin sekali minta maaf, sungguh-sungguh minta maaf. Saya bukannya tidak peduli dan tidak mau tahu dengan urusanmu, tapi saya tidak punya apa-apa lagi yang bisa saya banggakan di hadapanmu. Saya bahkan tidak bisa membantu dan memberi dukungan apa pun, yang (sungguh) saya sangat tahu, tengah kamu butuhkan saat ini. Sekali lagi, maafkan saya. Saya juga tidak bermaksud ingin mengabaikan SMS dan telepon darimu, tapi saya tidak sanggup berhadapan dengan ketidakberdayaan yang nantinya musti saya hadirkan kepadamu. Padahal, tanggal 23 Maret nanti, saya yakin itu akan menjadi momen terpenting bagi hidupmu, tapi saya tidak bisa melakukan apa pun untuk sekadar meringankan bebanmu. Maafkan saya.
Ah, ternyata, saya hanya manusia pengecut, pecundang, egois, dan tidak berani berhadapan dengan kenyataan. Ya, inilah saya, yang bahkan tidak punya daya untuk sekadar membuatmu bahagia.

21 Februari 2008

Hil

Tadi malam, saya memimpikan dia lagi. Entah, sudah kali keberapa saya memimpikan hal serupa—dia hadir di sini dan tertawa bersama saya. Saya memang sangat merindukan dia, sangat berharap bisa bertemu kembali dengannya. Saya masih selalu mengenang tawa terakhir kami di bawah pohon asem, di depan Beteng Plaza—sebelum terbakar, suatu sore, dia hanya berkata, saya takut tidak akan pernah lagi bisa melihat tawamu. Saya tidak tahu apa maksudnya. Belakangan, saya mulai belajar memahami bahwa kami akan berpisah, untuk selamanya, untuk waktu yang tak lagi bisa dihitung. Sahabat baik saya itu akan segera menuntaskan semua tawa yang pernah saya miliki, membawanya pergi entah ke mana.

Dua belas tahun telah berlalu, memang, tapi saya selalu merasa bayangannya ada di dekat saya, dekat sekali dengan saya, tapi di mana? Suatu saat nanti, saya berharap bisa 'menapak tilas' semua hal yang dulu pernah kita lalui bersama, berharap menemukan kembali jejakmu, menemukan tawa yang dulu selalu mengiringi langkah kita menaklukkan puncak dunia.***

01 Februari 2008

MacBook-ku


Akhirnya...