29 Juni 2007

My Lovely Coffee

Illy adalah sebuah merek kopi yang dibawa Mba Ika–kakak saya–dari Italia pada akhir Mei lalu. Memang, sebelum dia pulang, saya sudah mewanti-wantinya untuk membawakan saya kopi–apa pun merek dan jenisnya–yang asli Italia.

Sebagai penyuka kopi, saya berambisi sekali mencicipi kopi yang benar-benar ber-taste Italiano. Ternyata, memang hmmmmmm…. baru membuka tutup boksnya saja bau harum kopi yang sungguh nikmat sudah langsung ‘memprovokasi’ hidung saya. Wah, harus buru-buru mencecap nih, supaya lidah saya tidak iri untuk bisa membuktikan kenikmatan rasanya.

Selama ini saya cukup setia mengonsumsi Coffemix sebagai menu andalan sarapan saya setiap hari. ‘Merek’ lain yang juga cukup saya suka salah satunya coffelatte vanila produk Dunkin’ Donuts. Beberapa kali saya juga menikmati cappucino atau espresso produk Starbucks. Tapi saya tidak terlalu suka produk yang terakhir, selain karena harganya mahal, di Jogja belum ada outletnya*. Juga, untuk ukuran harga semahal itu, menurut saya, taste-nya tidak terlalu cocok dengan lidah saya.

Sebenarnya, saya tidak terlalu bisa menikmati kopi tubruk. Namun ada satu merek kopi tubruk yang sangat saya suka, tapi kopi ini sulit sekali saya dapatkan di Jogja. Mereknya Kopi Bintang, produk lokal sebuah pabrik kopi di Palu, Sulteng. Biasanya, saya mendapatkannya secara cuma-cuma dari teman-teman asal Palu yang kebetulan tinggal di sini.

Bagi saya, kopi adalah ‘alat hidup’ yang cukup wajib untuk disediakan sehari-hari. Saya tidak suka merokok, jadi saya memanfaatkan kopi sebagai pen-stimulus otak saya.

Sebenarnya, selain Illy, Mba Ika [kakak saya ini kebetulan bekerja sebagai staf KBRI di Roma, Italia] juga membawakan satu boks kopi lagi untuk stok dengan merek yang berbeda–tapi saya lupa mereknya apa. Sayangnya, Kakak–seorang teman dari Makassar–memaksa membawanya pulang ke sana. Ya sudahlah, saya relakan saja. Untungnya, Basri Andang–teman lain dari Makassar–mengirimi saya kopi toraja.

Katanya, kopi itu merupakan industri lokal yang tengah dikembangkan produksi dan pemasarannya. Mereknya Bal. Di kemasannya ditulis “spesial arabika toraja, dari biji kopi arabika pilihan dan berkualitas yang tumbuh di kawasan pegunungan Bumi Lakipadada pada ketinggian 150-3.082 mdpl, dikembangkan dan diolah secara tradisional berdasarkan keahlian dan pengetahuan lokal masyarakat adat Toraja secara turun-temurun sejak tahun 1860”. Wah, cukup panjang juga sejarah kopi ini ya. Hebatnya lagi, di bagian atas kemasan Kopi Bal itu juga tertulis “dengan membeli produk ini, Anda telah mendukung masyarakat adat dalam pelestarian lingkungan”. Jadi kalau memang Anda ingin punya andil untuk mendukung masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan, silahkan membeli kopi ini. Hehehe…***
*) eh ternyata di Jogja sudah ada outlet Starbucks di Ambarukmo Plaza (Amplaz), kayaknya sih baru buka beberapa waktu yang lalu.

27 Juni 2007

Radio Gapura Klewer, Solo

Pendengar Minta Dipesankan Sate Kambing

Hari beranjak siang ketika Titik dan Widya mulai membuka studio kecilnya yang terletak di pojok lantai atas Pasar Klewer, Solo. Meski baru pukul 09.00, namun ratusan orang, baik pedagang maupun pengunjung pasar telah menantikan ‘cuap-cuap’ mereka yang dipancarkan melalui sekitar seratus speaker yang dipasang di seantero pasar tekstil terbesar di Jawa Tengah itu. Selain lagu-lagu yang sedang top, tentu saja.

Kantor yang hanya berukuran 2x4 meter itu memang sejak sembilan tahun lalu difungsikan sebagai pusat informasi dan hiburan bagi komunitas Pasar Klewer. Masyarakat pasar dan sekitarnya mengenal studio kecil tersebut sebagai Gapura Klewer Promotion alias Radio Gapura Klewer. “Kalau mau nanya tentang keberadaan radio ini, orang cukup menyebut Gapura gitu aja, pasti semua orang se-Klewer sudah langsung tahu letaknya di mana,” tutur Widya.

Radio komunitas yang dipancang pada frekuensi 97,3 FM itu, awalnya oleh Hadi Yasri, pemilik modal sekaligus pengelola hanya dimaksudkan untuk meramaikan pasar. Sebab, selain pedagang, pengunjung sering mengeluh kepada Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) atas sulitnya mencari informasi seputar Pasar Klewer.

Meskipun sebenarnya Radio Gapura Klewer termasuk dalam kategori radio kabel, tapi acara-acara yang diprogramkan di radio tersebut cukup mewadahi komunitas pasar yang hiruk-pikuk. Kehadiran Gapura dari pukul 09.00 hingga 16.30 itu dirasa sangat menolong bagi pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kaki di area pasar yang terdiri atas dua bangunan yang semuanya berlantai dua itu. Misalnya, saking padatnya pasar, pengunjung sering tersesat atau terpisah dari rombongan. Bahkan kadang pedagang juga memanfaatkan Gapura untuk mencari bakul-nya yang hilang. “Di sini kalau nggak ada Gapura nggak bisa dengerin lagu-lagu, kan kita juga butuh hiburan daripada pusing kalau pas dagangan nggak laku,” ucap Yusuf Feri, salah seorang pedagang di los E.

Selain lagu yang menduduki porsi hiburan terbesar sebagai program acara, Gapura juga menyampaikan informasi berupa news. Biasanya, para penyiar Gapura akan menyampaikan berita tentang hal-hal yang tengah in, baik itu seputar Solo maupun berita-berita yang bersifat nasional dan internasional. Gapura juga menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan informasi dan sosialisasi dari Dinas Pasar Pemkot Solo dan HPPK. “Karena di sini kami belum punya reporter yang ditugasi untuk cari berita langsung ke lapangan, maka kami masih ngambil berita dari koran atau tabloid. Kadang malah justru pendengar yang minta dibacain tentang berita yang lagi trend, seperti seputar pilkada atau perkembangan tsunami waktu Aceh terkena bencana itu,” terang Titik.

Sebagai penyiar radio di lingkungan yang tergolong cukup aktif itu, mau tidak mau mereka (ada lima penyiar di Gapura-red) juga harus mengikuti perkembangan berita yang sedang terjadi. Pasalnya, para pendengar akan selalu menuntut mereka untuk menginformasikan berita-berita terbaru. “Apalagi kalau ada kejadian yang berhubungan dengan Pasar Klewer yang dimuat di sebuah koran, pasti pendengar itu pengen sekali tahu. Supaya mereka merasa tidak ketinggalan berita. Padahal kadang kan kita malah belum sempat baca korannya, jadi malu deh,” kata Widya.

Keterbatasan dana operasional selalu saja menjadi kisah klasik bagi sebuah radio komunitas. Maka Gapura menyiasatinya dengan mengelola iklan layanan dari para pedagang di lingkungan Pasar Klewer. Bahkan mereka juga menyediakan iklan dengan sistem adlips alias iklan sekali tembak dengan tarif Rp 3.000 yang dibacakan lima kali dalam sehari. “Kami memanfaatkan kondisi pasar yang sangat padat ini, yakni dengan mengajak para pedagang agar mau mengiklankan los dan kiosnya melalui Gapura yang bisa didengar orang se-Klewer tanpa perlu mengeluarkan biaya yang mahal. Selain menguntungkan bagi pengiklan, pengunjung juga akan dengan mudah tahu kalau mau membeli barang ini harus ke los yang mana,” jelas Titik yang sejak awal ikut menggawangi pendirian Gapura.

Pendapatan dari iklan sebagai pemasukan utama Gapura itu dirasakan sangat membantu operasionalisasi radio. Sebab, selain untuk pengadaan kaset dan CD lagu-lagu baru, Gapura harus membayar retribusi kepada Dinas Pasar. Tarikan sebesar Rp 300 ribu setiap bulan itu sebagai ganti biaya sewa los dan listrik. Gapura juga masih harus memberikan kontribusi bulanan kepada HPPK sebagai induk organisasi di lingkungan Pasar Klewer sebesar Rp 100 ribu.

Namun sayangnya, ada juga pendengar yang kadang kala bersikap kurang ajar dengan memanfaatkan radio untuk kepentingan pribadi mereka. ‘’Ada pendengar yang kebangetan, masak memanfaatkan kita untuk memesankan makanan kayak sate kambing atau bakso. Biasanya mereka telepon ke kita dan minta pedagang sate disuruh ke los sekian, gitu. Sebenarnya jengkel juga sih, soalnya kan kita nggak bisa ngelacak yang telepon itu siapa, mau pesan beneran atau cuma iseng aja. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga ngemong orang banyak,” ujarnya.

Sekarang ini Radio Gapura Klewer juga menyediakan ajang karaoke secara live dengan tarif Rp 1.000 per lagu. Ternyata attensi pendengar lumayan bagus, sebab mereka merasa bisa menyalurkan bakat bernyanyi dan didengar seantero pasar. “Lucunya, kadang ada yang mau ngikut karaoke tapi ternyata nggak bisa nyanyi, maksudnya suaranya nggak keruan tapi maksa banget. Ya, mau gimana lagi terpaksalah kita terima,” ungkap Widya.

Tak jarang, para penyiar yang semuanya perempuan itu mendapat telepon yang isinya berupa komplain. Bahkan seringnya komplain itu disampaikan dalam bentuk makian. “Biasanya kalau ada speaker yang mati atau sound yang kami pasang terlalu keras, para pedagang itu langsung telepon sambil maki-maki bahkan kadang ada yang mengeluarkan kata-kata yang sangat kotor. Apalagi kalau pas Jumat kan harus ada relay khotbah Jumat dari Masjid Agung Solo, tapi kami telat muter-nya, wah, bisa dimaki habis-habisan tuh,” keluhnya.***
[Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kombinasi Edisi 10/Agustus 2005]

Asyiknya Belajar Sekaligus Bermain di Taman Pintar Yogyakarta



Saat ini Kota Yogyakarta telah memiliki fasilitas publik yang mengakomodasi kebutuhan belajar sekaligus juga bermain bagi anak-anak. Yakni Taman Pintar Yogyakarta, yang terletak tepat di jantung kota gudeg di jalan Panembahan Senopati di depan Gedung Bank Indonesia.

Terinspirasi dari negara-negara lain yang telah memiliki science park, maka Pemerintah Kota Yogyakarta yang didukung oleh anggaran dari APBD I Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta, APBD II Kota Yogyakarta, serta mendapat support dari pemerintah pusat, Taman Pintar dibangun sebagai ikon guna mengukuhkan Yogyakarta sebagai Kota Pelajar.

Sesuai dengan namanya, Taman Pintar yang menempati area seluas 1,2 hektare itu benar-benar didirikan guna mengasah kepintaran anak-anak. Selain itu juga untuk meningkatkan daya tarik anak-anak terhadap sains dan teknologi melalui pengalaman dan pembelajaran yang menyenangkan. Di Taman Pintar disediakan sarana playground untuk bermain yang di sana juga terdapat arena bermain dan gedung PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), kios buku (shopping center), radio anak guna mengekspresikan diri, serta gedung kotak dan oval yang akan menyediakan sarana belajar aplikasi teknologi modern dan perkembangan sains dari waktu ke waktu. Dua gedung terakhir itu saat ini tengah dikebut penyelesaiannya.

Meski pembangunannya baru rampung 35 persen dikerjakan, saat ini Taman Pintar telah banyak menerima pengunjung, terutama untuk sarana playground dan gedung PAUD. Di arena playground terdapat sarana belajar yang sekaligus juga bermain yang menyenangkan. Ada dinding berdendang, parabola berbisik, pipa bercerita, cakram spektrum warna, gelembung sabun, kolam Archimedes, rumah gantung, dan kolam air mancur.

Alat-alat permainan yang dirancang di Taman Pintar sangat mendukung ke arah sana. Pengunjung pun tidak perlu kebingungan dengan tata cara permainan yang disediakan. Selain akan ada relawan pemandu yang akan telaten memberi pengarahan, sarana-sarana yang disediakan itu juga telah dilengkapi papan petunjuk tentang cara mengoperasikan dan bagaimana alat-alat itu dapat berfungsi.

Seperti pada pipa bercerita, di papan petunjuk tertulis: Berbicaralah pelan-pelan di depan salah satu pipa, sedang temanmu mendengarkan di ujung lain pada pipa yang sama warnanya, kemudian mintalah temanmu berbicara pelan-pelan dan kamu ganti mendengarkan, apa yang terjadi? Nah jika Anda ingin tahu apa yang akan terjadi maka Anda harus mencobanya sendiri dengan menuruti semua instruksi tersebut.

Atau Anda ingin mengetahui dari mana bunyi itu berasal, segeralah mendekat ke dinding berdendang. Di sana terdapat dinding besar dengan banyak gendang, lalu ambillah pemukul yang sudah disediakan dan pukullah gendang-gendang yang tertempel di dinding itu. Lantas dengarkan dan cermati perbedaan bunyi yang ditimbulkan di masing-masing getaran gendang yang menjadi sumber bunyi tersebut.

Stimulus otak
Semua alat permainan yang dipasang di playground yang memenuhi hampir separuh area Taman Pintar itu selain merangsang daya tarik anak untuk mengetahui lebih dalam tentang fenomena alam, juga bertujuan untuk menstimulus perkembangan otak anak usia dini, dasar, hingga menengah. Meskipun semua alat peraga itu telah dilengkapi dengan papan petunjuk, namun di sana tidak akan disebutkan suatu kesimpulan atas apa yang akan terjadi dengan simulasi yang harus dilakukan oleh pengunjung.

“Kita tidak memberikan kesimpulan-kesimpulan pada alat-alat permainan itu, seandainya suara dari getaran kita tidak tulis di sana, biarkan mereka melakukannya sendiri lalu mereka bertanya-tanya kepada dirinya sendiri atau orang tua, mungkin mereka akan bertanya kepada pemandu. Kami memang merangsang mereka membuat kesimpulan sendiri untuk bereksplorasi, artinya di sini kita tidak membatasi siapa tahu dia nanti akan menemukan kesimpulan-kesimpulan baru dari fenomena-fenomena alam tersebut,” terang Drs Aulia Reza Bastian MHum, Koordinator Pengelola Taman Pintar.

Sarana lain yang juga bertujuan guna merangsang perkembangan otak bagi anak adalah dua gedung PAUD, barat dan timur. Ruangan-ruangan dalam gedung tersebut di antaranya ruang profesi, komputer kid, susun balok, bermain, sains dan teknologi, budaya dan religi, jati diri (mencakup ruang perpustakaan), serta ruang pertunjukan. Di ruang komputer kid terdapat delapan komputer yang telah tersambung ke internet secara on line. “Meskipun internet di sini telah on line, pemandu-pemandu kami tetap memantau agar tidak disalahgunakan penggunaannya, kalau tidak dipantau jangan-jangan nanti mereka membuka situs-situs yang belum layak dikonsumsi,” ujar Reza.

Saat ini yang terlihat paling eksis dari semua sarana yang ada di Taman Pintar adalah Radio Anak Jogja yang bertujuan sebagai ajang berekspresi dan berkreasi bagi anak-anak Yogya. Radio yang mengudara di frekuensi FM 99,9 Mhz itu melibatkan anak-anak sebagai penyiar. Lebih dari 50 persen konten acaranya pun adalah program anak yang mengakomodasi kebutuhan anak-anak mulai dari hiburan hingga bidang pendidikan dan wawasan yang berhubungan dengan anak.

Hibah natural
Menurut Reza, dibutuhkan dana sebesar kurang lebih Rp 50 miliar guna menyelesaikan pembangunan seluruh area Taman Pintar hingga mencapai 100 persen yang rencananya akan ditargetkan selesai pada pertengahan tahun 2007 mendatang. Seluruh dana untuk menyelesaikan pilot project image building sebagai ikon Kota Pelajar itu selain berasal dari anggaran pusat dan daerah, juga donasi dari masyarakat yang berupa dana hibah natural yang bersifat halal dan tidak mengikat. Dana hibah natural itu diharuskan bukan berupa uang tunai melainkan berupa peralatan penunjang pendidikan atau sarana-sarana pendukung konten yang dikembangkan di Taman Pintar, seperti komputer, buku-buku, atau sarana belajar yang lainnya.

“Saya rasa Taman Pintar ini sangat mendesak untuk segera diselesaikan pembangunannya. Sebab gempa yang mengguncang Yogya beberapa waktu yang lalu telah ikut menghancurkan banyak sarana belajar seperti sekolah dan laboratorium. Jika pembangunannya telah selesai seluruhnya, kehadiran Taman Pintar bisa dimanfaatkan sebagai sarana penunjang pihak sekolah sebagai sumber belajar alternatif. Apalagi nanti di sini juga akan ditampilkan perkembangan teknologi yang bersifat futuristik dan jejak science yang berisi tentang miniatur penemuan-penemuan teknologi di masa lalu,” jelasnya.

Di samping itu, pihak pemerintah setempat akan memperoleh efek samping dari kehadiran Taman Pintar itu. Yakni peningkatan pendapatan daerah dari sektor pariwisata. Sebab sebagai ruang publik yang menyediakan sarana bermain dan belajar, di masa yang akan datang Taman Pintar juga dapat diandalkan sebagai salah satu tujuan wisata khususnya edu-turism.***
[Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kombinasi Edisi 16/September 2006]

Desa Gitar di Sukoharjo






Harapkan Bapak Angkat dan Patenkan Hak Merek

Desa Mancasan, Kecamatan Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah sudah sangat terkenal sebagai desa gitar. Sebab, dari empat dusun di wilayah tersebut, Kembangan sebagai blok dusun terbesar merupakan sentra kerajinan gitar. Bahkan sekarang ini usaha rumah tangga itu sudah menyebar ke beberapa dusun dan desa di sekitarnya. Data terakhir yang tercatat di kantor kelurahan setempat saat ini terdapat 137 orang perajin yang menekuni industri gitar.

Memasuki Kembangan, orang tidak akan menyangka jika dusun kecil di tengah kawasan lahan pertanian yang cenderung minus itu merupakan sentra industri gitar. Untuk mencapai kampung yang relatif jauh dari pusat kota itu, pengunjung harus rela menempuh jalan yang meskipun sudah diaspal namun cukup bergelombang dan penuh lubang. Gitar produk Kembangan bukan sekadar gitar mainan atau pajangan. Tapi memang gitar sebagai alat musik sebenarnya.

Adalah Sidal Hadi Wiyono (64) orang pertama yang memperkenalkan keterampilan membuat gitar di kampung tersebut pada tahun 1961. Awalnya, saat masih bersekolah di tingkat SMP, Hadi muda bekerja di pabrik gitar di kawasan Timuran, Solo selama empat tahun. Karena modal milik juragannya makin hari semakin menyusut, Hadi memutuskan untuk pulang kampung dan memulai usahanya sendiri. "Waktu itu saya hanya memanfaatkan barang-barang bekas sebagai bahan baku. Saya mengajak pemuda di sekitar rumah hingga mencapai 25 orang sebagai karyawan. Pokoknya sebagai modal awalnya hanya modal nekat saja," terang Hadi sambil tidak berhenti mengamplas gitar yang akan dicat.

Setelah beberapa waktu berselang, usaha Hadi mulai menampakkan hasil nyata. Satu persatu karyawan yang sempat ikut bekerja sekaligus belajar di tempatnya mulai membuka usaha sendiri. Hingga hampir 85 persen penduduk Kembangan menekuni usaha kerajinan gitar sebagai industri rumah tangga dan mata pencaharian utama mereka.

Sebagai perintis, Hadi tidak bisa tidak memikirkan sarana dan prasarana untuk keberlangsungan usaha tersebut. Sebisa mungkin ia mulai mengupayakan listrik dan telepon bisa masuk ke Kembangan. Kebutuhan akan listrik dirasakannya sangat krusial guna mendukung pengoperasionalan perajin sehingga mempercepat kerja mereka dibandingkan dengan sistem manual yang tentu saja akan lebih lambat. Sedangkan telepon diperlukan untuk memperlancar hubungan antara perajin dan pembeli sebagai konsumen yang mayoritas berasal dari luar kota seperti Solo, Semarang, Yogyakarta, Jakarta, dan kota-kota lain di luar Pulau Jawa.

Selain itu, Hadi juga mengupayakan adanya kerja sama dengan pihak bank untuk pengadaan pinjaman modal bagi dirinya dan rekan-rekan perajin lainnya dengan sistem kredit. "Dulu pertama kali saya mendapat pinjaman dari BRI sebesar Rp 300 ribu. Uang itu semuanya saya belikan bahan baku sebab barang-barang bekas simpanan saya sudah mulai habis," ujarnya.

Namun sayangnya, keberhasilan membentuk image Kembangan sebagai desa gitar tidak diiringi dengan kesuksesan untuk meningkatkan taraf hidup warga dusun tersebut khususnya dan masyarakat Desa Mancasan pada umumnya. "Dari total 137 perajin hanya beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari saja yang tergolong pengusaha besar, lainnya hanya pengusaha kelas menengah ke bawah. Padahal jika ditilik lamanya usaha gitar ini bertahan di desa ini kan sangat aneh jika taraf hidup warga di sini masih minim," jelas Kepala Desa Mancasan Sri Wahono.

Hal itu, lanjutnya, dikarenakan masih belum adanya standarisasi harga di kalangan perajin sendiri. Jadi masing-masing perajin menentukan harga sendiri-sendiri ketika bertransaksi dengan broker atau toko. Kelemahannya, justru pihak broker-lah yang punya kewenangan dalam penentuan harga. Pasalnya, ketika transaksi jual beli itu terjadi, broker akan menerapkan sistem pembelian dengan harga terendah. Meskipun sebenarnya tiap-tiap perajin sudah menetapkan harga jual produknya. Padahal sebenarnya orang-orang yang berperan sebagai broker dan pemilik toko sebenarnya juga warga asli Mancasan yang sudah pindah domisili ke luar daerah. "Bargaining perajin masih lemah sebab mereka hanya mengejar target asal modal kembali dan bisa terus berproduksi tanpa perlu mempertimbangkan keuntungan dalam jumlah besar. Kalau sudah begitu, perajin justru rela menjual ke broker dengan harga sangat miring. Apalagi adanya persaingan antar perajin yang ingin saling menjatuhkan itulah yang sering dimanfaatkan broker untuk memberikan penawaran rendah," imbuhnya.

Belum lagi untuk urusan merek gitar. Selama ini pihak perajin sama sekali tidak punya hak untuk menempelkan merek mereka sendiri dalam hasil produksinya. Sekali lagi, broker dan toko-lah yang mempunyai kewenangan penuh untuk menempelkan merek. Merek-merek yang ditempel di gitar hasil produksi warga Kembangan justru memakai merek-merek yang sudah tenar di pasaran seperti Yamaha, Ibanez, Fender, Osmond, dan Isuzu.

Hadi sendiri sebenarnya punya merk gitar tersendiri untuk gitar hasil kreasinya yakni Indomus. Sayangnya, ketika gitar yang ditempel merek tersebut tidak laku di pasaran. "Pihak toko dan broker nggak mau beli gitar yang sudah ada mereknya karena tidak laku. Pasar hanya mau membeli gitar yang memakai merek-merek terkenal," katanya.

Harga yang ditetapkan untuk masing-masing jenis gitar bervariasi. Untuk jenis gitar sayur (gitar yang paling sederhana) dipatok dengan harga antara Rp 65 ribu hingga Rp 100 ribu. Tapi setelah sampai di toko dan ditempeli merek, pihak grosir akan menjual dua hingga tiga kali lipat dari harga semula. Semua keuntungan itu jelas menjadi milik toko dan broker. Bisa dibayangkan untuk gitar kelas atas (gitar dengan kualitas bagus) yang dari perajin dipatok dengan harga hingga Rp 1 juta, berapa toko akan menjual?

Sekarang, untuk mengejar target pemasaran, terlebih lagi jika ada dalam jumlah besar, banyak perajin menurunkan kualitas hasil produksi. Sebagai gambaran kasar, untuk ukuran perajin besar seperti Sutanto yang sudah sepuluh tahun membuka usaha kerajinan gitar dan memiliki tiga puluh karyawan, dalam seminggu ia bisa mengirim pesanan untuk gitar dengan kualitas biasa hingga mencapai 25 lusin. Dengan sistem borongan besar seperti itu, Tanto berhasil membuka showroom di muka pabriknya dan membuka gerai counter gitar di Solo Grand Mall dengan nama Indoguitar.

Saat terjadi penumpukan pesanan, Tanto akan memanfaatkan para perajin yang ukurannya masih relatif kecil dengan cara menerima pasokan gitar yang masih mentah. Ada perajin yang khusus memasok gembung (tubuh gitar) atau stang (pegangan gitar). Nantinya untuk menyeragamkan hasil akhir, semua proses finishing dilakukan di pabrik Tanto. "Kami mendapat imbalan sebesar Rp 10.000 per lusin. Biasanya dalam seminggu kami bisa setor hingga 12 lusin dengan tiga orang tenaga kerja," papar Sri Sumiyati yang belum sebulan memulai usahanya sebagai perajin gitar.

Sedangkan bagi Hadi, dirinya lebih memilih tetap bertahan menjaga kualitas dari pada mengejar target omzet. "Bagi saya kualitas itu lebih penting, saya tidak peduli tetangga sekitar saya nakalan dengan menjatuhkan harga yang penting para pelanggan tetap saya yang kebanyakan musisi keroncong dari luar kota sudah tahu jaminan kualitas produk saya," tuturnya.

Aparat pemerintah desa setempat sebenarnya juga tengah mengupayakan adanya bapak angkat yang sanggup memberi kucuran dana hingga Rp 500 juta bagi para perajin gitar, terutama perajin kelas menengah ke bawah. "Kalau modal usaha itu bisa diatasi maka standarisasi harga akan tercapai. Susahnya, pengusaha besar hanya mau memberikan dana jika ada paguyuban perajin gitar. Padahal beberapa kali dirintis pembentukan paguyuban selalu gagal sebab attensi para perajin sendiri masih sangat kurang. Sedangkan perajin besar tidak mau berpartisipasi dalam paguyuban karena takut kalah bersaing," keluh Wahono.

Selain itu dirinya pernah mencoba mem-floor-kan sebuah merek kepada perajin. Yakni Sanbo sebagai simbol dua desa yang menjadi sentra industri gitar di Kecamatan Baki (selain Mancasan, Desa Ngrombo juga menjadi sentra industri gitar di Baki). Akan tetapi tidak ada tanggapan positif dari perajin, mereka masih takut para broker tidak mau mengambil produknya. "Sebenarnya kalau kita punya merk sendiri, baik toko, grosir maupun broker tidak akan mengklaim produk mereka. Apalagi meski baru dari mulut ke mulut, gitar dari Mancasan sudah cukup terkenal di seluruh wilayah Indonesia," tambahnya.***
[Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kombinasi Edisi 10/Agustus 2005]