16 Juli 2007

Agama yang Lain

Takmad Diningrat (67 tahun), sebelum saya ke Indramayu pada akhir Januari 2007 lalu, saya belum pernah sama sekali mendengar namanya. Dia adalah pemimpin atau ketua adat–atau apalah istilahnya–dari komunitas Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Indramayu. Ketika Hero Gunawan–salah seorang teman dari Losarang–menceritakan soal komunitas unik itu, saya langsung tertarik. Hero pun bersedia mengantarkan saya ke sana.

Eits, jangan salah sangka dulu, ini bukan Suku Dayak seperti yang ada di Kalimantan lho. Melainkan, Dayak bermakna eksistensi manusia di lingkungan alam semesta. Dayak berasal dari kata ayak (nama alat penyaring). Jadi, Dayak berarti orang-orang pilihan, hasil seleksi, saringan, atau ayakan alam. Kata Hindu Buddha pun tidak merujuk pada nama agama. Hindu berarti jiwa dan Buddha bermakna raga. Sedang Bumi Segandu adalah nama tempat komunitas tinggal*).

Ketika menginjakkan kaki ke kompleks permukiman komunitas itu, saya agak keder juga. Yang ada dalam benak saya adalah sosok kepala suku yang angkuh, sulit ditembus, dan 'menjaga jarak' dengan orang asing. Namun ternyata, sosok Takmad sungguh berbeda dari bayangan saya. Sikapnya yang ramah dan tanpa pretensi, membuat saya nyaman bercakap-cakap dengannya. Meski, ada satu kendala yang cukup mengganggu, yakni perbedaan bahasa kami berdua. Saya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan sesekali saya selingi dengan bahasa Jawa. Sedangkan sang kepala suku ini, konsisten berbicara dalam bahasa Indramayu kuno yang sulit sekali saya pahami. Untunglah ada Hero yang berperan sebagai penerjemah, meskipun–sebagai orang Indramayu modern–dia harus berjuang setengah mati memahami kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Takmad.

Meskipun anggota komunitas ini juga menganggap Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu sebagai "agama", sebenarnya ajaran yang disampaikannya cukup sederhana. Mereka terbiasa menamakan ajaran itu dengan "Sejarah Alam Ngaji Rasa" yang intinya mengajarkan manusia untuk selalu sabar, bertindak benar, dan jujur, serta menyelaraskan segala macam tindakannya dengan keberadaan alam semesta.

Namun ada satu lagi ajaran yang harus ditaati oleh seluruh anggota komunitas–Takmad mengklaim anggota komunitasnya berjumlah 7.000-an orang. Bahwa laki-laki harus menghargai keberadaan perempuan dan anak-anak. Laki-laki anggota Suku Dayak harus mendahulukan kepentingan perempuan dan anak-anak. Dalam komunitas itu, laki-lakilah yang harus bekerja keras memenuhi semua kebutuhan perempuan dan anak-anak. Wah, kalau soal yang satu itu saya sepakat banget (secara gituloh….), ternyata si Takmad ini cukup sadar gender juga ya.

Ajaran lain dalam komunitas "aneh" itu dilarang mengonsumsi daging, jadi mereka harus menerapkan pola makan vegetarian. Saya agak tidak percaya dengan itu, mengingat beberapa laki-laki yang tinggal di kompleks itu berperut cukup buncit. Hero meyakinkan saya dengan bercerita, "Kabarnya mereka memiliki ilmu kesaktian kebal tubuh. Jadi, kalau di Indramayu dan kota-kota sekitarnya ada demonstrasi yang dimungkinkan bakalan rusuh, Takmad diundang sebagai pengaman di garis depan. Untuk itu pihak aparat keamanan cukup memberinya mentimun sebanyak satu karung sebagai upah." Lah, kok kayak kelinci saja, pikir saya.

Sebagai lelaki normal, Takmad juga berkeluarga. Saat ini, dia tinggal memiliki lima orang anak dari 12 anak yang dilahirkan dari rahim Sarini, perempuan yang dinikahinya pada tahun 1974 (anak-anaknya yang lain meninggal dunia). Saya sempat berkenalan dengan Nyi Dewi Ana Mustika Ratu, biasa dipanggil Nyi (9 tahun)–tapi saya lupa dia anak yang keberapa. Saya agak surprise melihat "gaya" dia. Sebagai anak kepala suku yang mengasingkan diri dari peradaban, Nyi cukup beradab. Di tubuhnya, terlihat perhiasan yang cukup mencolok, beberapa gelang emas di pergelangan tangan kanan dan kirinya, juga kalung dengan rantai yang lumayan besar.

Saat saya bertanya, adakah ia sekolah, dengan mantap ia pun menjawab, "Kelas 2 SD Krimun." Lantas, ia pun bercerita dengan gaya kenes, bahwa gurunya sering kali 'takut' berhadapan dengannya, karena dia anak ketua adat. "Saya belum bisa membaca, tapi saya suka sekali bernyanyi," begitu terangnya, saat saya bertanya apakah dirinya sudah mahir membaca dan menulis. Nyi pun lantas memamerkan keahliannya bernyanyi di depan saya dengan diiringi permainan organ oleh salah seorang kakak laki-lakinya. Takmad agak kesulitan mendeskripsikan soal organ itu kepada saya. Dengan kosakata yang terbatas, dia hanya sanggup menerangkan, "Dia suka sekali bernyanyi pakai 'alat musik yang digenjot-genjot' itu." Kurang lebih seperti itulah penjelasan yang bisa ia sampaikan kepada saya, tentu saja dalam bahasa Indramayu dan telah disadur bebas oleh Hero. Tapi, digenjot-genjot?! Saya sama sekali tidak paham dengan "alat musik yang digenjot-genjot" itu. Sungguh, saya tidak dapat membayangkan alat musik seperti apakah bentuknya hingga bisa digenjot-genjot itu. Sampai akhirnya saya sedikit memaksanya untuk menunjukkan alat musik tersebut, daripada saya hanya membayangkannya dan ternyata salah. Agak tercengang juga ketika saya melihat langsung alat musik yang digenjot-genjot itu, oalah, ternyata organ to (mungkin deskripsi yang tepat untuk alat musik itu adalah dipencet-pencet, bukan digenjot-genjot).

Rupanya, Nyi juga mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap teknologi. Buktinya, dia begitu antusias dengan kamera digital yang saya bawa. Saya pun tidak segan mengajarinya mengoperasionalkan kamera tersebut. Dia sangat suka memotret ibu dan anjingnya. Malahan, dia meminta saya untuk memotretnya dengan berganti-ganti pose. Saya suka sekali dengan gadis kecil itu. Dia bukan gadis pingitan yang canggung menghadapi orang asing.

Di akhir pertemuan kami, Takmad menghadiahi saya sebuah gelang dari bahan bambu. Katanya, gelang itu merupakan "tanda" identitas komunitasnya. Dia bilang, pertemuan kami sebenarnya memang telah ia ramalkan. Bahkan, sebelumnya, ia juga bermimpi saya akan mengunjunginya. Entahlah, untuk yang terakhir rasanya sulit sekali dipercaya. Tapi sebagai tanda hormat dan ucapan terima kasih, saya mengiyakan gelang itu ia pasangkan di pergelangan tangan kanan saya.***
[*)Potret-SCTV, Sabtu 27 Januari 2007]