08 Juli 2007

Harta Karun

Kemarin, saya menerima SMS dari Mas Roni yang isinya kurang lebih, "Nanti jika buka email, di situ akan tersimpan harta karunku, Martoloyo dan Puspa Tajem." Martoloyo adalah cerita bersambung dalam bahasa Tegal yang saat ini tengah digarapnya di harian Suara Merdeka. Sedangkan Puspa Tajem adalah judul novel yang hendak ia terbitkan. Novel itu merupakan cita-cita besar dalam hidupnya yang telah tertunda penyelesaiannya hingga dua tahun.

SMS itu sempat membuat saya tertegun, Mas Roni punya harta karun, lah saya?! Mas Roni–sahabat sekaligus guru menulis saya–selalu beranggapan tulisan-tulisan yang dihasilkannya merupakan "harta karun" dalam hidupnya. Kemampuannya menghasilkan tulisan yang bagus selalu saja membuat saya iri. Ah, andaikan saya dikuliti, ternyata saya tidak mempunyai potensi apa-apa dalam hidup saya yang bisa saya banggakan untuk dijadikan harta karun. Saya memang mempunyai sedikit kemampuan untuk menulis. Namun saking sedikitnya kemampuan itu malahan bisa dikatakan pas-pasan.

Eh, setelah saya pikir-pikir lagi, sebenarnya saya masih mempunyai kemampuan lain yang cukup bisa diandalkan. Yakni kemampuan untuk menyakiti hati orang lain. Kalau untuk urusan yang satu itu, saya ahlinya. Saya sangat bisa mencela hasil pekerjaan orang lain, padahal pekerjaan saya sendiri saja jauh dari beres. Saya juga bisa merendahkan derajat orang lain, padahal saya sendiri bukanlah orang yang punya derajat tinggi. Itulah saya. Harta karun saya justru di mulut saya yang sangat suka membicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain, padahal saya juga bukanlah orang yang bagus dan lengkap.

Saya sepakat dengan bunyi iklan "Mulutmu Harimaumu". Itu sering mengingatkan saya agar bisa mengerem laju mulut saya yang selalu ingin berbicara nyinyir kepada orang lain.

Mas Roni sering menasehati saya agar rajin bertahajud dan ikhtiar, karena hanya itu kunci untuk menemukan "harta karun" saya. Sayangnya, dasar saya memang pemalas, jangankan mengambil air wudu untuk bertahajud, buat bangun malam saja rasanya…. ampun deh…. mendingan narik selimut lebih rapat menutupi tubuh saya saja!

Saya memang belum menemukan harta karun saya, hiks...hiks... saya bahkan tidak tahu di mana harus mencarinya. Anda, bagaimana? Kadang saya juga kepingin seperti Santiago–si anak gembala dalam Sang Alkemis (Paulo Coelho), karena untuk menemukan harta karunnya, ia sempat diberi petunjuk melalui mimpi yang berulang. Meskipun petunjuk itu sendiri pun ia ingkari, dan Santiago memilih berkelana mencari harta karunnya. Padahal harta karun itu tersimpan di bawah pohon sikamor yang selama hidupnya menjadi tempat ia dan domba-dombanya bermain.

Kepinginnya sih, saya tidak perlu harus "berkelana" untuk menemukan harta karun saya. Ah, andai saja harta karun itu diperlihatkan secara gamblang di depan mata saya dan saya tinggal mengambilnya kapan pun saya menginginkannya..... ***