27 Juni 2007

Radio Gapura Klewer, Solo

Pendengar Minta Dipesankan Sate Kambing

Hari beranjak siang ketika Titik dan Widya mulai membuka studio kecilnya yang terletak di pojok lantai atas Pasar Klewer, Solo. Meski baru pukul 09.00, namun ratusan orang, baik pedagang maupun pengunjung pasar telah menantikan ‘cuap-cuap’ mereka yang dipancarkan melalui sekitar seratus speaker yang dipasang di seantero pasar tekstil terbesar di Jawa Tengah itu. Selain lagu-lagu yang sedang top, tentu saja.

Kantor yang hanya berukuran 2x4 meter itu memang sejak sembilan tahun lalu difungsikan sebagai pusat informasi dan hiburan bagi komunitas Pasar Klewer. Masyarakat pasar dan sekitarnya mengenal studio kecil tersebut sebagai Gapura Klewer Promotion alias Radio Gapura Klewer. “Kalau mau nanya tentang keberadaan radio ini, orang cukup menyebut Gapura gitu aja, pasti semua orang se-Klewer sudah langsung tahu letaknya di mana,” tutur Widya.

Radio komunitas yang dipancang pada frekuensi 97,3 FM itu, awalnya oleh Hadi Yasri, pemilik modal sekaligus pengelola hanya dimaksudkan untuk meramaikan pasar. Sebab, selain pedagang, pengunjung sering mengeluh kepada Himpunan Pedagang Pasar Klewer (HPPK) atas sulitnya mencari informasi seputar Pasar Klewer.

Meskipun sebenarnya Radio Gapura Klewer termasuk dalam kategori radio kabel, tapi acara-acara yang diprogramkan di radio tersebut cukup mewadahi komunitas pasar yang hiruk-pikuk. Kehadiran Gapura dari pukul 09.00 hingga 16.30 itu dirasa sangat menolong bagi pengunjung yang baru pertama kali menginjakkan kaki di area pasar yang terdiri atas dua bangunan yang semuanya berlantai dua itu. Misalnya, saking padatnya pasar, pengunjung sering tersesat atau terpisah dari rombongan. Bahkan kadang pedagang juga memanfaatkan Gapura untuk mencari bakul-nya yang hilang. “Di sini kalau nggak ada Gapura nggak bisa dengerin lagu-lagu, kan kita juga butuh hiburan daripada pusing kalau pas dagangan nggak laku,” ucap Yusuf Feri, salah seorang pedagang di los E.

Selain lagu yang menduduki porsi hiburan terbesar sebagai program acara, Gapura juga menyampaikan informasi berupa news. Biasanya, para penyiar Gapura akan menyampaikan berita tentang hal-hal yang tengah in, baik itu seputar Solo maupun berita-berita yang bersifat nasional dan internasional. Gapura juga menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan informasi dan sosialisasi dari Dinas Pasar Pemkot Solo dan HPPK. “Karena di sini kami belum punya reporter yang ditugasi untuk cari berita langsung ke lapangan, maka kami masih ngambil berita dari koran atau tabloid. Kadang malah justru pendengar yang minta dibacain tentang berita yang lagi trend, seperti seputar pilkada atau perkembangan tsunami waktu Aceh terkena bencana itu,” terang Titik.

Sebagai penyiar radio di lingkungan yang tergolong cukup aktif itu, mau tidak mau mereka (ada lima penyiar di Gapura-red) juga harus mengikuti perkembangan berita yang sedang terjadi. Pasalnya, para pendengar akan selalu menuntut mereka untuk menginformasikan berita-berita terbaru. “Apalagi kalau ada kejadian yang berhubungan dengan Pasar Klewer yang dimuat di sebuah koran, pasti pendengar itu pengen sekali tahu. Supaya mereka merasa tidak ketinggalan berita. Padahal kadang kan kita malah belum sempat baca korannya, jadi malu deh,” kata Widya.

Keterbatasan dana operasional selalu saja menjadi kisah klasik bagi sebuah radio komunitas. Maka Gapura menyiasatinya dengan mengelola iklan layanan dari para pedagang di lingkungan Pasar Klewer. Bahkan mereka juga menyediakan iklan dengan sistem adlips alias iklan sekali tembak dengan tarif Rp 3.000 yang dibacakan lima kali dalam sehari. “Kami memanfaatkan kondisi pasar yang sangat padat ini, yakni dengan mengajak para pedagang agar mau mengiklankan los dan kiosnya melalui Gapura yang bisa didengar orang se-Klewer tanpa perlu mengeluarkan biaya yang mahal. Selain menguntungkan bagi pengiklan, pengunjung juga akan dengan mudah tahu kalau mau membeli barang ini harus ke los yang mana,” jelas Titik yang sejak awal ikut menggawangi pendirian Gapura.

Pendapatan dari iklan sebagai pemasukan utama Gapura itu dirasakan sangat membantu operasionalisasi radio. Sebab, selain untuk pengadaan kaset dan CD lagu-lagu baru, Gapura harus membayar retribusi kepada Dinas Pasar. Tarikan sebesar Rp 300 ribu setiap bulan itu sebagai ganti biaya sewa los dan listrik. Gapura juga masih harus memberikan kontribusi bulanan kepada HPPK sebagai induk organisasi di lingkungan Pasar Klewer sebesar Rp 100 ribu.

Namun sayangnya, ada juga pendengar yang kadang kala bersikap kurang ajar dengan memanfaatkan radio untuk kepentingan pribadi mereka. ‘’Ada pendengar yang kebangetan, masak memanfaatkan kita untuk memesankan makanan kayak sate kambing atau bakso. Biasanya mereka telepon ke kita dan minta pedagang sate disuruh ke los sekian, gitu. Sebenarnya jengkel juga sih, soalnya kan kita nggak bisa ngelacak yang telepon itu siapa, mau pesan beneran atau cuma iseng aja. Tapi mau bagaimana lagi namanya juga ngemong orang banyak,” ujarnya.

Sekarang ini Radio Gapura Klewer juga menyediakan ajang karaoke secara live dengan tarif Rp 1.000 per lagu. Ternyata attensi pendengar lumayan bagus, sebab mereka merasa bisa menyalurkan bakat bernyanyi dan didengar seantero pasar. “Lucunya, kadang ada yang mau ngikut karaoke tapi ternyata nggak bisa nyanyi, maksudnya suaranya nggak keruan tapi maksa banget. Ya, mau gimana lagi terpaksalah kita terima,” ungkap Widya.

Tak jarang, para penyiar yang semuanya perempuan itu mendapat telepon yang isinya berupa komplain. Bahkan seringnya komplain itu disampaikan dalam bentuk makian. “Biasanya kalau ada speaker yang mati atau sound yang kami pasang terlalu keras, para pedagang itu langsung telepon sambil maki-maki bahkan kadang ada yang mengeluarkan kata-kata yang sangat kotor. Apalagi kalau pas Jumat kan harus ada relay khotbah Jumat dari Masjid Agung Solo, tapi kami telat muter-nya, wah, bisa dimaki habis-habisan tuh,” keluhnya.***
[Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Kombinasi Edisi 10/Agustus 2005]