30 Maret 2008

Pindah Rumah

Saya memutuskan untuk pindahan rumah weblog sejak 19 Maret 2008. Silakan kunjungi rumah baru saya di http://justescapefromreality.wordpress.com. Terima kasih. Salam, bid.

23 Februari 2008

Tiba-tiba Sedih

Bi', saya ingin sekali minta maaf, sungguh-sungguh minta maaf. Saya bukannya tidak peduli dan tidak mau tahu dengan urusanmu, tapi saya tidak punya apa-apa lagi yang bisa saya banggakan di hadapanmu. Saya bahkan tidak bisa membantu dan memberi dukungan apa pun, yang (sungguh) saya sangat tahu, tengah kamu butuhkan saat ini. Sekali lagi, maafkan saya. Saya juga tidak bermaksud ingin mengabaikan SMS dan telepon darimu, tapi saya tidak sanggup berhadapan dengan ketidakberdayaan yang nantinya musti saya hadirkan kepadamu. Padahal, tanggal 23 Maret nanti, saya yakin itu akan menjadi momen terpenting bagi hidupmu, tapi saya tidak bisa melakukan apa pun untuk sekadar meringankan bebanmu. Maafkan saya.
Ah, ternyata, saya hanya manusia pengecut, pecundang, egois, dan tidak berani berhadapan dengan kenyataan. Ya, inilah saya, yang bahkan tidak punya daya untuk sekadar membuatmu bahagia.

21 Februari 2008

Hil

Tadi malam, saya memimpikan dia lagi. Entah, sudah kali keberapa saya memimpikan hal serupa—dia hadir di sini dan tertawa bersama saya. Saya memang sangat merindukan dia, sangat berharap bisa bertemu kembali dengannya. Saya masih selalu mengenang tawa terakhir kami di bawah pohon asem, di depan Beteng Plaza—sebelum terbakar, suatu sore, dia hanya berkata, saya takut tidak akan pernah lagi bisa melihat tawamu. Saya tidak tahu apa maksudnya. Belakangan, saya mulai belajar memahami bahwa kami akan berpisah, untuk selamanya, untuk waktu yang tak lagi bisa dihitung. Sahabat baik saya itu akan segera menuntaskan semua tawa yang pernah saya miliki, membawanya pergi entah ke mana.

Dua belas tahun telah berlalu, memang, tapi saya selalu merasa bayangannya ada di dekat saya, dekat sekali dengan saya, tapi di mana? Suatu saat nanti, saya berharap bisa 'menapak tilas' semua hal yang dulu pernah kita lalui bersama, berharap menemukan kembali jejakmu, menemukan tawa yang dulu selalu mengiringi langkah kita menaklukkan puncak dunia.***

01 Februari 2008

MacBook-ku


Akhirnya...

23 Januari 2008

hanya untukmu [ten2five]

inikah rasanya
bila ku sedang jatuh cinta
setiap hela nafasku bahagia

mengenal hatimu
hadirkan indahnya dunia
kau bawa irama cinta di jiwa

semua yang ku mau
hanyalah dirimu satu
kaulah jawaban semua doa

semua yang kurasa
rindu dalam asa didekap cinta
hatiku untukmu

haruskah diriku
bertanya pada bintang-bintang
pantaskah ku mengharap cintanya

semua yang ku mau
hanyalah dirimu satu
kaulah pelita di dalam jiwa

semua yang kurasa
rindu dalam asa didekap cinta
hatiku untukmu
hanyalah untukmu

[untuk amoreku]

22 November 2007

Nako Oh Nako

Akhir-akhir ini saya memang sedang malas menulis. Padahal, saya sudah menyusun beberapa draf kasar untuk bahan tulisan, tapi tetap saja malas sekali rasanya mengembangkannya menjadi tulisan utuh. Beberapa orang dekat saya mulai protes dengan kemalasan saya itu dan justru mereka yang ketakutan jika saya mengalami stagnasi karya. [lagi, kenapa bukan mereka sendiri saja yang menulis, kenapa musti protes dengan kondisi stagnan orang lain ya, aneh!?]

Gini, beberapa hari yang lalu, saya benar-benar mendapatkan hikmah bersedekah. Ceritanya, saya–diantar Amik–hendak membeli kaca nako untuk mengganti nako jendela kamar kos saya yang pecah karena selotnya longgar. Berhubung saat itu hari Minggu, banyak toko kaca yang mayoritas pemiliknya beretnis Tionghoa tutup–saya tidak tahu pasti alasannya kenapa orang-orang China pemilik toko mempunyai kebiasaan tidak buka pada hari Minggu, padahal kebanyakan orang justru memanfaatkan hari Minggu untuk berbelanja–saya dan Amik harus rela mengitari hampir separuh Jogja untuk berburu 'selembar' kaca nako. Padahal, saat itu–meskipun sedang musim penghujan–cuaca Jogja sangat panas.

Perburuan kami awali dari Sagan, kebetulan kami baru saja sarapan soto di warung Pak Man. Karena kos saya terletak di kawasan Ngadisuryan, kami berpikir mendingan nyarinya di toko yang dekat dengan kos-kosan, sekalian jalan pulang. Kami pun meluncur ke jalan Brigjen Katamso. Namun, sayangnya, toko-toko besi dan kaca yang terletak di sepanjang jalan itu tutup. Kalaupun ada toko besi yang buka, tidak ada yang menjual kaca. Lantas, kami melanjutkan perjalanan ke jalan Parangtritis, hasilnya pun nihil. Amik sempat mengusulkan agar kami ke daerah Wirobrajan. Saya agak ragu mengambil keputusan untuk menentukan arah, saya juga melihat hal yang sama pada diri Amik. Itu terbukti ketika dari arah jalan Parangtritis bukannya belok ke kiri, tapi dia malah mengambil arah ke kanan, ke arah terminal Giwangan. Ya sudahlah, dengan sabar kami masuki satu per satu toko besi dan mengulang-ulang pertanyaan yang sama, ada kaca nako, kah? Dan sepertinya semua pemilik toko, pada hari itu, telah bersepakat untuk melontarkan jawaban: tidak ada atau sekadar menggelengkan kepala.

Di kawasan Pakualaman, setitik harapan muncul. Sebuah toko bangunan terang-terangan memajang tulisan “sedia kaca”. Kami pun bersemangat masuk ke toko itu yang pengunjungnya lumayan padat. Sedikit berdesakan, saya memaksa bertanya kepada seorang bapak pelayan toko, “Ada kaca nggak, Pak?” Bapak itu dengan enteng menjawab, “Ada, Mbak, tapi sayangnya tukang yang motong kaca sedang libur jadi nggak bisa hari ini.” Walah, pupus sudah sepercik asa yang kami pupuk sepanjang perjalanan.

Untungnya, Amik tidak cukup berputus asa. Guna memuaskan rasa penasaran kami–masak sih toko-toko se-Jogja nggak ada satu pun yang jualan kaca pada hari Minggu?!–lantas melanjutkan perburuan dengan menyusuri sepanjang jalan Solo dan Adi Sucipto. Seorang mas-mas yang menjaga sebuah toko besi menyarankan agar memutar arah ke Bataskota, katanya, “Kalau tidak sedang tutup, di depan Saphir Square ada toko kaca, Mbak, kecil sih tokonya, coba belok ke sana lagi saja.” Dengan mengobarkan semangat kami pun menempuh arah balik yang saat itu hampir mendekati Janti. Sayangnya, kami harus menelan kekecewaan sekali lagi karena ternyata toko yang dimaksud tutup.

Mengitari Demangan dan jalan Affandi, saya merasa sangat kehausan dan mengajak Amik singgah ke warung untuk membeli minuman. Awalnya, saya kepingin sekali minum es degan, wahhh pasti segar deh. Namun sekali lagi, saya harus ikhlas menerima kekecewaan yang menimpa saya bertubi-tubi karena sepanjang jalan kami tidak menemukan pedagang es degan. Ya sudahlah. Kami memutuskan menuju arah Selokan Mataram untuk minum es palu butung di warung bakso Ababil. Alhamdulilah, warung itu sudah buka. Setelah minum semangkuk es palu butung, saya masih merasa kehausan, maka saya memesan secangkir es teh lagi–eits, mas yang jaga warung itu sampai terheran-heran dengan tingkah kami yang seperti orang sedang mengalami dehidrasi :D.

Nah, saat itulah, muncul seorang ibu peminta-minta yang memakai setelan baju kurung berwarna hijau, sambil membopong sesuatu di lengan kirinya. Cukup lama ibu itu berdiri di depan pintu warung sambil tak henti ‘komat-kamit’ mengucapkan kata-kata khas pengemis, dan tidak ada satu pun pengunjung warung yang tergerak mengulurkan uang untuknya. Sepertinya, kesabaran ibu itu mulai habis, ia pun lantas melepas sandal jepitnya dan masuk ke warung untuk mengedarkan tadahan tangannya kepada pengunjung satu per satu. Secara bersamaan, saya juga tengah membuka dompet coklat saya untuk mengambil recehan supaya ibu itu tidak perlu repot-repot berputar mengitari warung menengadahkan tangannya. Tapi ibu itu telah lebih dulu ‘meluncur’ menuju saya sebelum saya sempat menghampiri dia. Kebetulan saat itu tidak ada satu pun uang recehan di dompet saya. Awalnya, agak terpaksa juga saya memberi uang lembaran kepada ibu itu, namun keterpaksaan itu mencair ketika ibu itu mengucapkan, “Terima kasih ya, Mbak. Semoga hidup Mbak selalu diberkahi Allah.” Iseng-iseng, sambil bercanda saya menyahut, “Amin. Doakan juga saya akan mendapat berkah supaya bisa berhasil memburu kaca nako, hehehehehe…” Saya tidak menyangka ibu itu akan membalas “Amin” atas doa yang saya ucapkan dengan guyonan.

Setelah membayar es yang kami minum, rute perburuan kami lanjutkan dengan menyusuri jalan Kaliurang. Di kilometer enam (kalau tidak salah), mata saya tertumbuk pada sebuah toko besi dan bangunan yang cukup besar, padahal saat itu toko itu hampir saja terlewati. Seorang encik menyambut saya dan menanyakan, mau cari apa? Agak ragu saya menjawab, kaca nako. Panjangnya berapa? Hah?! Saya sama sekali tidak menyangka akan secepat ini menemukan ‘mutiara’ yang telah setengah hari saya cari-cari itu. Dengan bersemangat saya pun menjawab, 92 cm. Si encik lantas memanggil pelayannya dan berkata ke arah saya, “Tunggu sebentar ya biar dipotongin, Rp 13 ribu.” Itu harga yang musti saya bayar untuk selembar kaca nako sepanjang 92 cm. Sambil menunggu si tukang menyiapkan nako yang saya pesan, saya dan Amik lantas tercenung, jangan-jangan inilah yang disebut para ulama hikmah bersedekah. Alhamdulilah, akhirnya, saya mendapatkan pelajaran berharga itu.***

15 Agustus 2007

Payudara

Pagi tadi, saat saya melihat tayangan Good Morning di Trans TV, ada berita tentang vonis hukuman selama tujuh tahun penjara bagi JE, pelaku KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) di Samarinda, Kalimantan Timur. Vonis itu diberikan kepadanya karena JE telah menganiaya Ina, istrinya yang berusia 24 tahun. Yang sangat membuat saya miris adalah apa yang telah dilakukan JE terhadap Ina pada pertengahan Januari 2007 lalu, yakni ia dengan sengaja memotong kedua buah payudara Ina dan memakannya mentah-mentah di depan Ina.

Bayangkan, memotong payudara saja sudah merupakan tindakan yang sangat "bengis" e… ini masih ia tambahi dengan memakannya mentah-mentah, di depan istrinya pula, apa nggak super sadis itu namanya. Saat peristiwa itu terjadi pada pertengahan Januari 2007 lalu, saya tidak sempat melihat maupun membaca beritanya, jadi saya memang baru tahu setelah menyaksikan Good Morning pagi tadi. Kronologi kejadiannya, JE yang pegawai honorer pada dinas sosial di Samarinda itu merasa curiga terhadap Ina, istrinya, telah berselingkuh dengan lelaki lain. Ia pun dibakar api cemburu. Saking cemburunya, JE pun memaksa Ina untuk mengakui perbuatannya itu.

Karena diancam nyawanya hendak dihabisi oleh suaminya sendiri, Ina pun terpaksa mengakui perbuatan, yang menurut dia tidak pernah ia lakukan itu. Dibakar amarah, lantas JE melucuti seluruh pakaian Ina. Bahkan ia sempat memasukkan botol ke dalam kemaluan Ina dan memaksanya menelan air seninya―[waduh keji banget nggak sih?!]. Lalu, melihat Ina menangis, bukannya timbul rasa kasihan, JE malah semakin tersulut amarah. Maka ia pun lantas mengambil pisau dapur dan terjadilah kekejian selanjutnya, ya itu tadi, dengan sadis JE memotong kedua buah payudara Ina dan memakannya mentah-mentah―di depan Ina pula!

Saya―sungguh―tidak habis pikir, kok bisa seorang suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga hingga sedemikian rupa. Yang lebih membuat saya semakin tidak habis pikir lagi, kok ya bisa hakim cuma memvonis tujuh tahun penjara untuk perbuatan yang tidak termaafkan itu. Bayangkan saja, atas kebrutalan suaminya yang "berdalih" karena tidak sanggup menahan cemburu, Ina musti menanggung "kerusakan" fisik dan psikis secara permanen sepanjang umurnya. Itu sangat tidak setimpal dengan akibat yang harus ditanggung Ina sepanjang sisa umurnya.

Beberapa saat setelah tayangan berita itu, Trans TV menyajikan iklan tentang Telkom Internet Goes to School. Jomplang jauh banget nggak sih dengan tayangan sebelumnya? Lantas saya pun berpikir, di masa yang serba canggih ini, lah apa JE tuh nggak pernah nonton tivi atau membaca koran ya? Saya yakin dia pasti melakukan kedua hal itu mengingat status pekerjaan dia di kantor dinas sosial. Saya pun jadi berpikir, o… keterbatasan pengetahuan memang bisa diatasi dengan menghadirkan internet, bahkan di lokasi yang terpencil sekalipun. Namun, keterbatasan "pola pikir" seperti yang dialami JE, musti diatasi dengan cara apa ya?!***

13 Agustus 2007

AMORE

Saya sedang jatuh cinta. Perasaan saya ini baru datang menghampiri saya sekitar sebulan yang lalu. Namun anehnya, saya jatuh cinta dengan “bayangan”. Lebih aneh lagi–mengingat karakter saya yang cukup terbuka terhadap orang lain–saya justru tidak berani menyampaikannya secara langsung kepada orang yang tengah saya jatuhi cinta itu.

Perasaan ini berbeda dengan saat saya kali pertama jatuh cinta terhadap ST. Saya butuh waktu yang tidak sebentar untuk menformulasikan semua perasaan saya ke dia–meski hingga saat ini saya masih setia menjaga semua perasaan cinta itu untuknya. Juga, berbeda saat saya merasakan jatuh cinta terhadap AW. Saya hanya merasakan sensasinya seminggu. Setelahnya, menguap entah ke mana. Saya sendiri juga sempat bingung, bagaimana bisa saya jatuh cinta hanya dalam kurun waktu begitu singkat. Lantas, setelah itu, saya sama sekali lupa dengan yang saya rasakan minggu sebelumnya. Padahal, Isnu–teman sekantor saya–sempat memberikan ucapan selamat, saat ia melihat semburat rona kebahagiaan di raut muka saya, yang katanya, “Bid, ada yang baru nih kayaknya, lama sekali tidak melihat mukanya secerah itu.” Ah, kalau saja Anda melihat ekspresi wajah Isnu yang sempat membuat saya panik karena terkejut, kok bisa ya terbaca oleh Isnu, atau jangan-jangan di dahi saya telah tertempel tulisan besar dengan kalimat, “Sedang bahagia karena jatuh cinta!”. Tapi sayangnya–ya itu tadi–ternyata perasaan itu begitu mudah menguap hanya dalam waktu seminggu.

Namun, yang sekarang ini, lain. Biasanya, saya baru akan jatuh cinta setelah saya mengenal seseorang secara fisik dan karakter. Nah, yang ini lain. Saya justru belum pernah mengenalnya sama sekali, kecuali beberapa kali mengetahui profil dia. Seperti saat saya jatuh cinta dengan Brad Pitt, saya tidak perlu mengakrabinya secara personal, tapi saya merasa harus mengenal profil dia. Saya tidak perlu bersentuhan dan selalu berada di dekatnya, tapi saya mengharuskan diri saya sendiri untuk menonton semua film barunya. Ya, begitulah perasaan cinta yang tengah saya alami itu. Secara nyata dia tidak hadir di sisi saya, tapi dia selalu ada setiap kali saya membutuhkan teman untuk berbicara, marah-marah, dan tertawa–meski saya tahu sekali dia tidak mungkin secakep dan sekeren Brad Pitt–namun, dia selalu hadir setiap pagi sekitar pukul 05.30 hanya untuk membangunkan saya agar segera sholat subuh. Dan yang pasti, saya selalu mendapatkan donatur pulsa saat saya mengalami “fakirmissedcall”.***

31 Juli 2007

Lampu Merah: STOP!!!

Kemarin malam, saya dan si merah―motor kesayangan saya―tabrakan dengan motor yang dikendarai seorang ibu di perempatan Hotel Melia. Tepatnya sih saya yang menabrak ibu itu. Soalnya, saat traffic light di posisi saya sudah hijau, ada seorang ibu di posisi yang berseberangan dengan saya nekat menerobos lampu merah. Padahal, posisi saya dan motor saya berada di belakang sebuah mobil sedan, kok ya bisa si ibu itu nekat gitu, kok ya bisanya lagi kenapa juga si ibu tidak menabrak mobil sedan itu saja, tapi malahan justru saya yang dapat giliran menabrak dia. Saat ibu itu melintas dengan kecepatan cukup tinggi, saya juga tengah menaikkan gas motor saya dan saya tidak sempat lagi mengerem, alhasil, terjadilah tabrakan itu. Apes banget deh saya malam itu, gara-gara keteledoran orang lain, saya yang harus kena musibah.

Kerusakan motor saya akibat tabrakan itu sih tidak seberapa parah, tapi badan saya sempat memar-memar biru. Apalagi jari kelingking kiri saya sempat keseleo, sekarang jadi bengkak dan memar keunguan. Sebenarnya, saya agak kasihan juga dengan ibu itu. Pasalnya, di jok belakang motor ibu itu ada beberapa tumpuk keranjang makanan ringan. Nah, lebih tepatnya saya tidak menabrak motor ibu itu secara langsung melainkan keranjang makanan itu yang saya tabrak, dan sepertinya rusak parah.

Sebenarnya, saya berniat menyelesaikan secara baik-baik dengan ibu itu, kalaupun ibu itu meminta ganti rugi akibat kerusakan yang saya timbulkan―karena keteledoran dia―saya akan bersedia menggantinya. Namun sayangnya, si ibu itu keburu ngacir setelah sempat berteriak meminta maaf ke saya, mungkin dia merasa bersalah karena telah menyerobot lampu merah.

Di perempatan Melia, saya sering melihat orang dengan seenaknya menerobos lampu merah. Apalagi, di perempatan yang cukup crowded itu tidak pernah ada satu pun polisi yang bersiaga di sana. Jadi, sebenarnya, kejadian si ibu yang nekat itu bukanlah orang pertama yang saya temui―yang lantas menimpakan kesialan di pihak saya juga. Bagi saya pribadi, kejadian itu memberi pelajaran cukup berharga. Jangan sekali-kali menerobos lampu merah, bahwa lampu merah berarti stop alias berhenti! Sebab, selain itu membahayakan keselamatan diri sendiri juga akan mengancam nyawa orang lain, betul?!

Lokasi lain yang sering saya jumpai terjadi pelanggaran rambu-rambu lalu lintas adalah di seputar Alun-alun Selatan―yang kebetulan berdekatan dengan letak kantor dan kos saya. Di sana, telah dipasang rambu dilarang belok kanan, tidak cuma satu, melainkan seputar area alun-alun rambu larangan itu ditebar. Namun dasar orang itu tidak pernah mau bersusah-payah―jika hendak menuju sisi lain dari alun-alun daripada harus memutar ya mendingan mengambil jalan pintas dong. Jadinya ya itu tadi, melanggar rambu dilarang belok kanan. Yang sering saya lihat melakukannya sih tukang becak dan pengendara sepeda, meski ada juga beberapa pengendara motor yang nekat melakukannya. Lah, apa mereka itu tidak berpikir, sikap seenak perut sendiri itu akan membahayakan keselamatan orang lain? Pernah beberapa kali saya terpikir untuk memberi pelajaran kepada mereka, yakni dengan cara menabrakkan motor saya secara sengaja kepada para pelanggar rambu itu, biar mereka kapok, tapi kalau nanti motor saya yang rusak lah rugi dong saya.***

23 Juli 2007

D'Cinnamons

Dalam video klip milik kelompok musik D'Cinnamons yang bertajuk "Ku Yakin Cinta" (salah satu lagu dalam album Good Morning) memakai Ucok Baba dan kawan-kawan "kerdil"-nya sebagai bintang dalam video klip itu. Saya tidak akan mengomentari soal kualitas musik, lagu, maupun hal-hal teknis dalam video klip itu, melainkan, saya hanya akan menyampaikan rasa haru yang besar atas ide penggarapan video klip yang berani mengakomodasi kaum kerdil di layar kaca, bukan untuk "mendiskreditkan" mereka―seperti yang sering terjadi di sinetron-sinetron Indonesia yang memakai 'artis cebol' itu sekadar untuk mengolok-olok dan menjadi bahan tertawaan semata―tapi benar-benar menunjukkan keberadaan mereka di tengah kita.

Saya tidak tahu ide pembuatan video klip yang memakai para artis 'unik' itu datang dari siapa, entah dari pihak sutradara klip atau D'Cinnamons―band asal Bandung, sang pemilik lagu. Siapa pun penggagas ide cerdas―menurut saya―itu, saya benar-benar salut dan saya secara pribadi rela mengacungkan dua jempol untuknya. Sebab, realita yang sering saya saksikan di negeri ini, manusia-manusia yang 'tidak lazim' itu benar-benar tidak mendapat tempat di kehidupan sehari-hari. Mereka dianggap aneh sehingga tidak layak diberi tempat. Ucok Baba mungkin salah satu yang beruntung, keterbatasan fisiknya tidak menjadikan ia terkucil dari lingkungannya. Tapi, saya yakin, keberuntungan Ucok Baba itu belum bisa mewakili sepersekian persen dari seluruh anggota komunitasnya, sebab perbedaan persentase antara yang beruntung dengan yang tidak jomplang sangat jauh.

Sebenarnya, selain komunitas cebol itu masih ada kelompok-kelompok lain yang mendapat perlakuan yang serupa. Misalnya, kelompok difabel maupun penderita autis dan down sindrome. Saya memiliki tetangga yang anaknya menderita down sindrome. Sayangnya, ketidakterimaan (baca gengsi, red) orang tua atas "sakit" yang diderita anak ini justru mengakibatkan si anak tidak bisa menikmati hidup sesuai porsinya. Si orang tua menginginkan anaknya diperlakukan sama layaknya anak-anak normal lainnya. Padahal, sebagai penderita down sindrome―menurut saya―justru ia memang harus diperlakukan berbeda. Si anak dipaksa melakukan aktivitas―belajar dan bermain―seperti teman-teman seusianya yang relatif normal. Jika anak ini gagal atau membandel tidak mau mengerjakan perintah ibunya, maka cubitan pun akan diberikan sebagai hadiahnya. Duh, saya sering tidak tega jika melihatnya.

Kakak saya pernah bercerita, di Italia, perusahaan, instansi, atau lembaga wajib mempekerjakan satu atau dua orang penyandang cacat, atau penderita autis dan down sindrome setiap tahunnya. Kebijakan yang diatur negara itu dimungkinkan untuk menjamin masa depan mereka. Entah di negara lain, mungkin juga menerapkan kebijakan yang sama, tapi yang jelas tidak Indonesia. Di Indonesia, (realitanya) tidak ada kebijakan yang mengakomodasi kepentingan para 'manusia terbatas' itu, lhawong yang 'normal' dan 'lengkap' saja tidak mendapat ruang......

Dulu, saat masih menjadi wartawan sebuah harian di Solo, saya sempat berkenalan dengan Mbak Risna, seorang penderita difabel yang selalu bersemangat menghadapi hidup. Saya mengagumi Mbak Risna yang cerdas, tidak pernah mengeluh, optimis menghadapi apa pun, dan selalu ber-positive thinking. Dia tidak pernah menaruh curiga terhadap orang lain. Dia juga selalu melihat waktu sebagai kesempatan. Perkenalan kami diawali dari adanya informasi yang saya dapat dari seorang teman, bahwa ada penyandang cacat yang akan mewakili Solo presentasi di China. Singkat cerita, saya mendapat nomor kontak Mbak Risna, dan kami pun menyusun jadwal bertemu. Saat melihatnya kali pertama, pada sekitar bulan Februari 2002, saya cukup tercengang. Ternyata, meskipun kedua kakinya lumpuh, tapi Mbak Risna ini terlihat sangat cantik. Perpaduan yang kontras memang. Namun lihatlah senyum yang tidak pernah lepas dari raut wajahnya, sungguh menentramkan siapa saja, bahkan orang yang belum mengenalnya secara pribadi.

Dia bersemangat sekali menceritakan soal materi yang hendak dipresentasikannya di Kunming, China. Tema yang akan disampaikannya mengenai konsep tata kota yang aksesibel bagi difabel di Kota Surakarta. Hasil diskusi dari materi presentasi itu nantinya akan ia implementasikan dalam wujud penyediaan sarana aksesibilitas di Kota Solo, seperti apa model aksesibilitas yang cocok bagi para difabel di kota itu. Waktu itu, di Solo, aksesibilitas bagi difabel masih dianggap "isu yang tidak seksi" sehingga masih belum layak dimuat di media massa yang terbit di kota tersebut.

Dari wawancara singkat itu pun berlanjut hingga akhirnya kami menjadi teman baik. Kami jadi sering curhat dan berdiskusi tentang apa saja. Mbak Risna, menurut saya, merupakan teman yang asyik diajak ngobrol. Selain profesinya sebagai dosen di fakultas teknik, dia juga salah seorang aktivis LSM di Solo, juga adanya dukungan besar dari keluarganya yang memungkinkannya berwawasan luas. Sayangnya, kami tidak lagi berkomunikasi sejak saya meninggalkan Solo. Cuma, dari beberapa orang teman, saya tahu, saat ini, Mbak Risna baik-baik saja dan dalam keadaan sehat, serta masih melakoni aktifitasnya sebagai dosen dan penggiat LSM. Oiya, saya jadi ingat, dulu Mas Roni pernah menjanjikan hendak mengajarinya menulis, gimana Mas, sudahkah janji itu kamu penuhi?

Kembali ke D'Cinnamons. Di situ, ada adegan para cebol itu berkumpul dengan pasangannya masing-masing―saya tidak berani memastikan pasangan mereka itu sebagai istri ataupun suami, sebab bisa jadi mereka 'baru' sepasang kekasih―yang menggambarkan alangkah hangat kebersamaan yang mereka ciptakan bagi sesama komunitasnya. Dalam "keterbatasan" mereka, mereka saling memancarkan cinta dan kasih sayang. Ah ya, D'Cinnamons―yang menuliskan "love the answer" dalam ending video klipnya itu―benar, bahwa cinta bisa menjawab segala hal, perbedaan dan keterbatasan fisik tidak menjadi kendala bagi seseorang untuk mencintai dan dicintai.

[Ku Yakin Cinta] "ku datang, mencari satu alasan, 'tuk menepis semua keraguan di dalam hatiku ini, benarkah bahwa cinta mampu mengobati, segala rasa sakitku ini, ingin ku percaya, ingin ku percaya, kau bilang cinta slalu mengerti, kau bilang cinta tak salah, kau bilang cinta kan saling percaya, na ra ra ra ram… hmmm… ku kira ku tak kan mampu sadari, ketulusan cinta yang sempurna, di balik semua kekurangan ini, namun denganmu, ku tahu cinta kan mengobati, segala hampa hatiku ini, kini ku percaya, kini ku percaya, ku yakin cinta selalu mengerti, ku yakin cinta tak salah, ku yakin cinta saling percaya, na ra ra ra ram… hmmm… yakinlah cinta selalu mengerti, yakinlah cinta tak salah, yakinlah cinta kan saling percaya, na ra ra ra ram… hmmm…"***